News

Peneliti Indonesia Dijegal Masalah Dana (Lagi)

Salah satu masalah klasik yang selalu menghalangi para peneliti untuk berkarya adalah masalah dana. Bahkan bisa dibilang jika suatu penelitian tidak memiliki nilai jual, maka kemungkina besar penelitian tersebut tidak akan mendapat guyuran dana. Dan situasi itulah yang dihadapi para peneliti Indonesia.
 
Setelah bertahun-tahun tak mendapatkan dana cukup, para peneliti Indonesia sempat bernapas lega ketika Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) diluncurkan pada Maret 2016.
 
Tujuan DIPI adalah untuk meningkatkan investasi dalam riset dan juga meningkatkan kualitas riset yang ada. Pada Mei 2016 DIPI membuka pendaftaran untuk memberikan dana sampai Rp 1,5 miliar per tahunnya selama tiga tahun.
 
Para peneliti Indonesia kemudian mendaftarkan 467 proposal dalam berbagai bidang seperti kesehatan dan nutrisi.
 
18 bulan kemudian DIPI yang berada di bawah Akadami Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, mengeluarkan pengumuman telah memilih beberapa proyek yang pantas untuk didanai, tapi masih belum memiliki uang untuk diberikan kepada para peneliti.
 
“Keterlambatan dari DIPI sangat mengecewakan,” ujar seorang peneliti di jakarta yang pada Februari 2017 diberitahukan bahwa risetnya telah diterima, tapi masih harus melakukan revisi atas anggarannya, sebagaimana dilansir Nature, Selasa (20/2).
 
Peneliti yang menolak disebutkan namanya karena khawatir tak mendapat dana tersebut juga menjelaskan bahwa dirinya sama sekali belum dihubungi DIPI setelah pemberitahuan tersebut.
 
“Saya mencoba menemukan pendanaan riset internasional. Tapi selama kami belum mendapat penolakan resmi dari DIPI, hal tersebut sama sekali tidak etis bagi kami untuk mengirimkan proposal riset kami ke agensi pendanaan lainnya,” paparnya.
 
“Dalam situasi ini, para penelitilah yang jadi korban.”
 
Dana yang dimiliki DIPI sebenarnya berasal dari banyak sumber seperti donor luar negeri dan para dermawan. Tetapi pemerintah sebenarnya telah menganggarkan dana sekitar Rp 40 miliar untuk mendanai agensi ini pada tahun pertamanya melalui Kementerian Keuangan
Indonesia dengan program Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
 
Program tersebut juga telah menandatangani MoU dengan DIPI, yang menyetujui pendanaan selama lima tahun.
 
Namun menurut Teguh Rahardjo, direktur eksekutif DIPI, meski DIPI telah menerima beberapa dana tersebut, dana yang ada tidak mencukupi untuk mendukung semua program pendanaan riset.
 
Kendala pada anggaran negara juga berkontribusi pada kekurangan ini, imbuhnya.
 
Rahardjo menjelaskan para penilai telah memilih 10 pendaftar yang pantas untuk didanai dan sekarang agensi tersebut mencari sumber dana lain.
 
Ruhardjo juga menambahkan bahwa tahun ini DIPI telah berkontribusi Rp 12 miliar bagi pendanaan riset setelah melakukan kolaborasi dengan universitas dari Indonesia dan Inggris. Program kolaborasi tersebut juga didukung oleh Newton Fund, grup pengembangan riset asal Inggris.
 
Sumber Dana Terbatas
 
Para peneliti Indonesia biasanya harus bergantung pada anggaran tahunan negara, yang hanya menginvestasikan 0,08 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) kita ke dalam riset ilmu pengetahuan.
 
Tetapi ada beberapa peneliti berpendapat bahwa proses pendanaan yang diberikan melalui beberapa kementerian seperti Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi atau Kemenristekdikti ke universitas-universitas atau pusat penelitian tidak transparan.
 
Tetapi Syarif Hidayat, kepala legal, koperasi, dan informasi Kemenristekdikti, menolak tuduhan tersebut dan menjelaskan bahwa kementerian berusaha untuk membagi dana tersebut untuk beberapa tahun ke depan.
 
Sejatinya DIPI dibentuk untuk mengatasi masalah ini dan juga untuk mendukung riset jangka panjang. Agensi tersebut terinspirasi oleh agensi pendanaan di negara lain seperti US National Science Foundation yang memiliki tim penilai yang secara independen dapat memberikan
hadiah pendanaan pada suatu riset.
 
“Sangat disayangkan DIPI menunda pendanaan ini,” ujar Riza Putranto, ahli biologi molekul di Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia (PPBBI).
 
“Kita tidak bisa bergantung pada anggaran negara saja untuk melakukan riset kualitas tinggi di Indonesia,” tambah Putranto, yang pada Maret 2017 ditolak proposal risetnya oleh DIPI.
 
“Kami memilih DIPI karena itu adalah pendanaan riset tahunan seperti yang ada di AS atau Eropa,” imbuhnya.(KUMPARAN.COM)

Join The Discussion