JAKARTA – Maraknya sejumlah kasus mahar Parpol (Parpol) terhadap kandidat Paslon (Pasangan Calon) Pilkada Serentak menggelitik banyak pihak untuk dikaji termasuk Puslitbang Keuangan Daerah BPP Kemendagri.
Mereka memandang permasalahan dana ‘mahar’ politik yang dilakukan oleh sejumlah Parpol (Partai Politik) sebagai masalah serius yang mengakibatkan rawannya korupsi APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) dalam upaya ‘balik modal’ Kepala Daerah terpilih.
Dalam FGD (Focused Group Discussion) “Pilkada Sedot Dana ke Pusat: Dampaknya Terhadap Perekonomian Daerah” pada Selasa, (13/2) di Aula BPP, sejumlah narasumber ahli seperti Ubedillah Badrun (Dosen Univ. Negeri Jakarta), Donal Fariz (Indonesian Corruption Watch), dan Eko Listianto (Institute for Development of Economics & Finance) ikut berkomentar.
Menurut Donal Fariz, permasalahan ‘mahar’ politik yang dilakukan sejumlah parpol juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat di musim pemilu. “Akibatnya sepanjang 10 tahun ini sudah ada 350 kepala daerah yang terkena kasus korupsi oleh KPK,” terangnya mengawali pembicaraan.
Hal itu dipengaruhi dari ‘hutang’ beberapa Kepala Daerah terhadap sejumlah biaya yang dikeluarkan dalam kampanye. “Kita memang tidak bisa terlepas dari 4 perilaku, yakni perilaku parpol, perilaku elit itu sendiri, dan perilaku masyarakat,” terangnya.
Perilaku parpol yang dimaksud Donal adalah ada beberapa Parpol yang menetapkan sejumlah tarif kepada kandidat paslon yang mau maju dalam Pilkada Serentak. “Pemerintah juga harus jeli, karena beberapa kasus transaksi di luar negeri, salah satunya Singapura. KPK harus paham ini, apalagi berupa saham, KPK belum pernah lho dalam bentuk saham,” ungkapnya.
Selain itu, ada perilaku elit itu sendiri yang mempengaruhi bentuk mahar politik. “Contohnya Bu Rita dan Fuad Amin dengan perilaku yang hedonis seperti itu,” paparnya.
Tidak hanya itu, masalah mahar politik juga dilatarbelakangi oleh perilaku masyarakat itu sendiri. “Coba saja sekarang kita lihat, dana kampanye itu juga butuh biaya, di musim Pilkada masyarakat milih ada uangnya saja, terlebih lagi di musim Pilkada pasti marak dengan proposal, akibatnya Paslon akan berusaha mencari uang lebih untuk menarik simpati masyarakat,” tandasnya.
Perilaku masyarakat juga penting menjadi sorot perhatian pemerintah dalam memberikan pendidikan politik yang tidak memanfaatkan momen pilkada. “Tidak adanya regulasi yang jelas terhadap sanksi para tersangka, baik itu kandidat paslon, pihak penerima, ataupun Parpol itu sendiri menjadikan ‘mahar’ sebagai budaya politik yang semakin mengakar,” tutupnya. (IFR)