Dikutip dari pikiran-rakyat.com, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mendorong peneliti dan perekayasa teknologi melakukan riset bersama dengan perusahaan. Mulai dari pendanaan, hingga fokus bidang riset yang sesuai dengan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN). Alasannya, anggaran riset yang dimiliki pemerintah sangat terbatas sehingga tidak mungkin bisa membiayai semua riset strategis.
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti menyatakan, insentif tax deduction yang diberikan pemerintah kepada perusahaan harus dikawal dan dimanfaatkan dengan baik. Dengan adanya insentif tersebut, sebuah perusahaan yang mendanai penelitian strategis akan mendapat keringanan pajak hingga mencapai 300 persen.
Ia menegaskan, hingga saat ini, belum ada instrumen yang bisa memastikan apakah perusahaan tersebut benar melakukan riset setelah memanfaatkan tax deduction.
“Kami berharap para peneliti berkontribusi inovasi penelitian yang nanti kami biayai sebagian, dan sebagian lagi bisa kerja sama dengan perusahaan yang perusahaan itu kalau melakukan penelitian bisa dapat tax deduction sampai 300 persen. Masalahnya, perusahaan itu bisa betulan melakukan penelitian atau tidak siapa yang tahu. Siapa yang mensupervisi? Tentu bapak ibu peneliti sekalian harus ikut di dalamnya,” ujar Ghufron di Kantor Kemenristekdikti, Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2019.
Ia menuturkan, saat ini, ada sebanyak 100 peneliti alumni program Riset-Pro yang diinisiasi Kemenristekdikti sedang mencari dana untuk penelitian. Sebagian besar dari mereka berusaha mendapatkan kerja sama dengan funding dari luar negeri. Pasalnya, keterlibatan perusahaan dalam negeri untuk terlibat dalam sebuah riset masih rendah.
Bersaing dengan penelitia internasional
Menurut dia, untuk menjalin kerja sama riset dengan pihak luar negeri, 100 peneliti dan perekayasa teknologi tersebut harus bersaing dengan peneliti dari Tiongkok, Vietnam dan Thailand. Ia menegaskan, komitmen pengusaha untuk mendanai riset strategis harus dikawal oleh semua pihak, terutama para peneliti.
“Mahasiswa Tiongkok sekarang kesulitan di Amerika untuk mendapatkan visa, maka Anda harus bisa mengambil kesempatan ini dan memperoleh manfaat. Apa yang terjadi di perang dagang Amerika dan Tiongkok, justru Thailand dan Vietnam, yang lain yang mengambil manfaat itu, termasuk kerja sama penelitian. Kita juga jangan kalah dan harus bisa mengambil manfaat dari situasi tersebut,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, peningkatan kualifikasi peneliti dan perekayasa kerap terkendala oleh keterbatasan anggaran. Salah satu kebutuhan yang mendesak adalah melepaskan ketergantungan pendanaan riset pada APBN yang mendominasi lebih dari 75% sumber pendanaan riset di Indonesia.
“Dengan adanya program Riset-Pro, diharapkan para alumni memperkuat kapasitas keilmuan dan mengembangkan jejaring risetnya untuk dapat memperluas sumber pendanaan risetnya, dari berbagai sumber pendanaan dari luar negeri, dalam negeri, hingga swasta, jadi tidak hanya bergantung pada lembaganya sendiri atau kementerian,” katanya.
Keterlibatan Kemenristekdikti
Anggota Pansus UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) DPR RI Andi Yuliani Paris menjelaskan, adanya UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sisnas Iptek diharapkan mampu menaikkan anggaran bagi pembangunan SDM Iptek dan Dikti. Ia menilai, pada pengelolaan beasiswa bagi para dosen, peneliti, dan perekayasa harus turut melibatkan Kemenristekdikti sehingga tidak diserahkan kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
“Karena Kemenristekdikti yang paling mengerti kebutuhan peneliti serta dosen, dan langsung bersinggungan dengan perguruan tinggi. Jadi menurut saya untuk beasiswa juga harus dilibatkan supaya alokasinya terarah,” ucap Yuliani.
Kepala Subdirektorat Kualifikasi Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Adhi Putranto menambahkan, inovasi yang dihasilkan dari pelatihan yang dibiayai pemerintah melalui Riset-Pro di antaranya vaksin yang bekerja sama dengan Bio Farma.
“Jadi kami mendorong LPNK dalam konteks ini leadnya LIPI bekerja sama dengan Bio Farma untuk sama-sama riset untuk hasilkan suatu vaksin,” tutur Adhi.
Riset-Pro juga membiayai pelatihan bagi peneliti dalam rangka mengembangkan Pesawat N219 karya anak bangsa. “Di samping itu misalnya Pesawat N219, itu ada banyak. Ada PTDI, BPPT, LAPAN. Kami berikan kontribusi di pelatihannya di N219. Misalnya tahun lalu Presiden menginginkan N219 mendarat di laut. Itu prioritas nasional. Kami berikan pelatihan bagaimana pesawat itu mendarat ke laut, (pelatihannya) di Amerika,” kata Adhi.
Ia mengatakan, Riset-Pro merupakan upaya meningkatkan kualifikasi serta kapasitas para peneliti dan perekayasa yang dilakukan sejak 2013 bersama World Bank. Program ini memiliki empat komponen yang saling berkaitan, yakni peningkatan kerangka kerja kebijakan inovasi dan kinerja lembaga litbang Iptek, penguatan sistem pendanaan riset, beasiswa program gelar dan non-gelar, dan dukungan manajemen untuk seluruh komponen.
Selama tahun 2013 hingga tahun 2018, Program Non-Gelar Riset-Pro sudah membiayai dan memberangkatkan lebih dari 1.600 peserta dari LIPI, BPPT, BATAN, LAPAN, BAPETEN, BSN, dan Kemenristekdikti.