Letak Indonesia yang sangat strategis serta kaya akan keanekaragaman hayati dan fauna menarik minat ilmuwan mancanegara untuk melakukan berbagai kegiatan peneitian di Tanah Air. Besarnya minat ini terbukti dari jumlah permohonan yang cukup banyak di berbagai bidang penelitian.
Hal itu terungkap dalam rapat Pansus RUU Sisnas Iptek yang melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada Kamis (8/2). RDPU itu menghadirkan Ahli Kelautan dan Kemaritiman Rachmaniar, Ahli Rekayasa Nuklir Indonesia Bakri Arbie, serta Ketua Himpunan Perekayasan Nasional (HIMPERINDO) I Nyoman Jujur.
Dalam pemaparannya Rachmaniar mengatakan bahwa dalam pengalamannya sebagai penelliti, seringkali para peneliti asing mengambil sebanyak- specimen tanpa ada pengawasan dari lembaga terkait, selain itu kata dia peneliti asing memanfaatkan universitas di daerah untuk memperoleh specimen tertentu dengan imbalan pemberian dana penelitian.
“Untuk itu keberadaan peneliti asing perlu diatur dengan baik didalam RUU Sisnas Iptek untuk menghindari pencurian specimen tertentu keluar negeri tanpa sepengetahuan Indonesia,” papar Rachmaniar.
Dalam kesempatan yang sama ahli Rekayasa Nuklir Indonesia Bakri Arbie mengusulkan agar didalam RUU Sisnas Iptek yang dibahas di DPR agar besaran pendanaan untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di tetapkan sebesar 1 persen dari GDP Nasional dari Tahun 2019 sd. 2024 dan dipertimbangkan menjadi 2 persen dari GDP Nasional dari Tahun 2025 hingga 2030.
“Sedangkan dalam hal kelembagaan Iptek diperlukan kelembagaan setingkat Menteri Koordinator yang membawahi dan mengkoordinasikan pembinaan SDM, Ristek, Inovasi, dan Industri mengingat permasalahan yang terjadi saat ini, sulitnya koordinasi antar lembaga terkait. Kelemahan koordinasi ini
kemudian berdampak pada lemahnya pengawasan terhadap kegiatan peneliti asing yang beraktivitas di Indonesia,” jelas Bakrie.
Sementara itu I Nyoman berpendapat bahwa diperlukan pengaturan terkait perlindungan hukum
terhadap perekayasa dalam uji coba hasil produk kerekayasaan karena adanya resiko kegagalan pada bagian fase penerapan.
Sehingga, lanjut I Nyoman, aspek resiko kegagalan tersebut ditangani berdasarkan kaidah ilmiah bukan melalui kaidah hukum sehingga tidak dapat dituntut secara hukum kecuali ada unsur kesengajaan atau untuk memperkaya diri sendiri.
“Selain itu perlu ada kebijakan pemerintah yang tegas pada peningkatan kandungan teknologi local yang berkelanjutan dengan memastikan bahwa BUMN dan Industri Swasta nasional juga melakukan peningkatan kualitas produknya berdasarkan hasil Litbang Jirap Nasional yang dibiayai Pemerintah,” terang I Nyoman.
Terkait hal tersebut Daryatmo Mardiyanto selaku Ketua Pansus menyatakan, perlindungan terhadap peneliti dalam negeri perlu dilakukan, namun keberadaan peneliti asing tidak perlu dilarang untuk itu masalah ini akan menjadi salah satu perhatian bagi anggota pansus dalam membahas RUU Sisnas Iptek nanti Bersama pemerintah.
“Selain itu, diakui bahwa anggaran penelitian kita masih sangat rendah atau hanya 0,02 persen dari GDP. Jika kita bandingkan dengan Korea Selatan dimana alokasi anggaran untuk penelitan mencapai 4 persen dari GDP. Hal lainnya jumlah peneliti di Korea Selatan saat ini mencapai 450.000 peneliti atau sekitar 1 persen dari jumlah penduduk. dan pemerintah Korea Selatan mengalokasikan anggaran penelitian untuk 5 tahun ke depan bagi peneliti yang judul penelitiannya mendapatkan persetujuan,” ungkap politisi PDI Perjuangan ini.
“Ini berarti kita tertinggal jauh dengan Korea Selatan dari sisi penganggaran kebiatan penelitian. Sedangkan terkait pemanfaatan hasil litbang bagi Industri dalam negeri menjadi perhatian anggota pansus, mengingat salah satu keluhan dari peneliti dan perguruan tinggi adalah banyaknya hasil penelitian yang telah dilakukan hingga memperoleh paten, namun tidak terserap oleh industri,” sambung Daryatmo. (IFR/Akurat.com)