Peneliti Teknik Tenaga Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB) Agus Purwadi mengungkap kekhawatiran tentang pembangunan sentralisasi industri baterai di Halmahera Tengah, Maluku. Agus bilang jangan sampai kawasan industri bernama Weda Bay Nickel itu mengalami kasus seperti pengolahan sumber daya alam oleh Freeport.
Freeport memiliki tambang di Timika, Papua. Agus menyinggung soal cara pengolahan hasil tambang Freeport yang sebagian besar tidak dilakukan di dalam negeri. Kasus Freeport dikatakan bisa terulang di Halmahera bila pemerintah tidak serius mengawal kawasan industri baterai. Groundbreaking Weda Bay Nickel sudah dilakukan pada akhir Agustus lalu. Proyek kawasan industri ini digarap oleh PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
IWIP merupakan hasil kongsi tiga investor asal China, yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhensi. Perusahaan itu juga merupakan realisasi perjanjian antara Eramet Group (Perancis), Tsingshan, dan ANTAM yang sudah dilakukan tahun ini. Nilai investasi di Weda Bay Nickel mencapai US$10 miliar (sekitar Rp144 triliun). Sedangkan anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan tahap pertama US$5 miliar, kemudian tahap berikutnya sebesar US$5 miliar lagi.
IWIP bakal mengolah deposit bijih nikel. Lalu smelter yang berada di lokasi akan mengolah sumber daya mineral menjadi produk akhir, salah satunya baterai lithium-ion untuk kendaraan listrik. Agus menjelaskan pentingnya pengawasan pemerintah pada pihak China yang menjadi nahkoda IWIP. Dia menegaskan pemerintah harus benar-benar memastikan kawasan industri tersebut mengembangkan baterai kendaraan di dalam negeri.
Dia mengatakan jangan sampai Indonesia nantinya justru hanya jadi konsumen.
“Nah itu yang harus didorong jangan seperti Freeport. (Bahan baku) Dikirim ke luar, ujungnya saat sudah jadi, kita beli. Padahal sumbernya ada di sini, dan lingkungan kita sudah rusak,” kata Agus saat ditemui di sela Forum Diskusi Kendaraan Listrik yang digelar detikcom dan CNNIndonesia.com di Jakarta, Kamis (4/10).
“Makanya kita harus pastikan jangan diekspor bahan mentahnya, tapi ya harus dibuat dulu di sini. Jadi jangan barang mentahnya diambil, kirim ke China dan barang jadinya kita pakai. China tahu, semua baterai listrik berbasis nikel dan kobalt. Itu bahan baku di Indonesia dan makanya mereka kuasai dulu,” katanya. China Kuasai Bahan Baku
Banyak negara, termasuk Indonesia, saat ini tengah menjajaki era kendaraan listrik. Bila era itu bergulir, perlahan ketergantungan pada Bahan Bakar Minyak akan berkurang karena diganti dengan produk subsitusi baterai sebagai sumber energi.
Menurut Agus, China sudah bergerak cepat menguasai industri baterai. Sebelumnya pihak China dikatakan sudah lebih dulu ‘mengakuisisi’ kawasan Amerika Latin untuk memperoleh lithium, kini giliran Indonesia agar bisa mendapat nikel dan kobalt.
Menurut Agus, China punya pemikiran panjang lantaran sudah memperkirakan lebih dulu jika industri otomotif dunia akan beralih ke kendaraan listrik.
“China itu berpikirnya panjang. Di Amerika Latin belum apa-apa dia sudah kuasai untuk lithium. Jadi China menguasai material basik untuk kendaraan listrik. Ini yang harus waspadai, seperti magnet, baterai. China punya research institut yang luar biasa,” ungkapnya. (IFR/CNNIndonesia)