News

Peneliti Amerika Kumpulkan Rekaman Kesenian Bali Sebelum Perang Dunia II

Perhatian peneliti asing terhadap seni dan budaya Indonesia tidak pernah berkurang. Seorang etnomusikolog asal AS Dr Edward Herbst melalui Arsip Bali 1928 melakukan pemugaran rekaman film dan musik Bali yang pernah dibuat sebelum Perang Dunia ke-2.

Dr Herbst membeberkan hasil kegiatan tersebut dalam Kuliah Herb Foundation di Monash University hari Kamis (5/4/2018) di Melbourne. Kuliah dihadiri kalangan akademisi di Australia yang menggeluti Indonesia baik dari sisi budaya, politik, seni dan yang lainnya.

Hasil dari Arsip Bali 1928 ini sudah dikumpulkan dalam bentuk lima volume CD dan DVD, yang dilakukan berdasarkan penelitian Herbst selama belasan tahun.

Ketertarikan orang asing dengan Bali sudah berlangsung lama. Sebagian rekaman dari masa tahun 1928 merupakan rekaman musik yang dibuat pertama kalinya mengenai kegiatan kesenian di Pulau Dewata tersebut. 

Arsip Bali 1928 merupakan hasil pemugaran, penyebaran, dan pemulangan kembali warisan pusaka seni dan budaya Bali dari tahun 1930-an, termasuk puluhan rekaman komersial ‘long lost recordings’ piringan-piringan hitam.

Piringan hitam ini adalah karya label rekaman Jerman, Odeon & Beka yang dilakukan pertama kalinya di Bali pada tahun 1928-29.

Juga ada rekaman-rekaman film 16 mm bisu-hitam-putih yang dilakukan oleh peneliti-peneliti ternama seperti Colin McPhee, Miguel Covarrubias, dan Rolf de Maré.

Selain itu juga ada puluhan foto tentang masa kesejarahan modern Bali pada masa tahun 1930-an oleh Colin McPhee, Walter Spies, Arthur Fleischmann, Jack Mershon dan lain-lain.

Arsip Bali 1928 ini berangkat dari upaya Dr. Edward Herbst, yang dengan tekun selama bertahun-tahun mengumpulkan aneka piringan hitam pada masa Bali sekitar tahun 1928-29 – dikumpulkan dari berbagai pusat arsip di seluruh dunia.

Kekayaan koleksi audio tersebut dipugar kembali kualitasnya oleh Allan Evans dari Arbiter of Cultural Traditions di New York, sedangkan cuplikan-cuplikan film disunting oleh tim STMIK STIKOM Bali.

Dr Edward Herbst sekarang bekerja di lembaga bernama Arbiter of Cultural Traditions di New York, sebuah lembaga nirlaba yang didirikan tahun 2002 yang berusaha menyelamatkan berbagai rekaman musik klasik dari berbagai belahan dunia.

Sesuai dengan misi lembaga tersebut, dalam Proyek Bali 1928 ini pun Herbst banyak melakukan perjalanan ke Bali untuk menemui langsung mereka yang muncul dalam rekaman, foto ataupun film yang sudah dibuat sebelumnya.
Dr Herbst mengatakan bahwa rekaman-rekaman bersejarah ini dibuat pada tahun 1928 sebagai bagian dari sebuah koleksi yang pertama kali dan satu-satunya diluncurkan ­ secara komersial di Bali pada masa sebelum Perang Dunia II.

Proyek yang dilakukan Dr Herbst ini dimulai di tahun 2000 dimana dia bisa mempertalikan rekaman menggunakan piringan hitam yang diproduksi oleh Odeon dan Beka dengan film bisu mengenai pertunjukkan tari yang dibuat oleh Colin McPhee, Miguel Covarrubias, dan Rolf de Maré.

Proyek ini sudah selesai dan selama tahun 2017, Herbst dan para pekerja budaya di Bali berusaha menyebarkan informasi mengenai proyek tersebut baik di Bali maupun di mancanegara.

Herbst sekarang melanjutkan proyek ini dengan usaha menerbitkan buku berdasarkan penelitian yang dilakukannya.

Selama penelitiannya dan mencari mereka yang terekam di masa-masa sebelum Perang Dunia kedua tersebut, Herbst bertemu dengan beberapa orang di antaranya yang masih menjadi pekerja seni di Bali.

Dan di antara mereka malah kemudian menggunakan apa yang mereka lihat dan dengar dari rekaman tersebut untuk kembali mengajarkan lagu atau tari kepada anak-anak asuh mereka.

Dalam situsnya edwardherbst.net, disebutkan bahwa Edward Herbst sebagai peneliti utama dari Proyek Bali 1928 sudah sejak 1972 mengunjungi Bali dan belajar dari sejumlah empu.

Dia belajar gender wayang dan palegongan dari I Made Gerindem di Teges Kanginan, belajar dramatari klasik Bali dari I Nyoman Kakul di Batuan, dan belajar musik vokal dari I Made Pasek Tempo di Tampaksiring, Ni Nyoman Candri, Wayan Rangkus dan Pande Made Kenyir di Singapadu, serta I Ketut Rinda di Blahbatuh. (TEMPO.CO)

Join The Discussion