JAKARTA – Dalam seminar “Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Wawasan Kebangsaan” yang diselenggarakan Puslitbang Otda, Politik dan Pemerintahan Umum BPP Kemendagri, peneliti BPP Kemendagri Catur Wiboro mengatakan pelaksanaan kebijakan pendidikan wawasan kebangsaan di daerah belum optimal. Pernyataan tersebut mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan Puslitbang Otda, Politik, dan PUM BPP di lima daerah di Indonesia.
“Kita melakukan penelitian di lima provinsi, yaitu Provinsi Banten, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi NTT, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Adapun beberapa faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan PWK ini bisa dilihat dari struktur birokrasi, sumber daya, disposisi, dan komunikasi, “ ucapnya di Aula BPP Kemendagri pada Selasa (3/10).
Dari lima lokus yang menjadi objek kajian, Puslitbang Otda, Politik, dan PUM BPP menyimpulkan, kebijakan pendidikan PWK di provinsi Kepulauan Riau, NTT, dan Banten tergolong buruk. Adapun dua provinsi seperti Kalimantan Selatan dan Jawa Tengah dikatakan baik.
Menurut Catur beberapa faktor penghambat pelaksanaan kebijakan pendidikan wawasan kebangsaan (PWK) di daerah, misalnya dalam hal birokrasi, kerja sama antara Ditjen Polpum Kemendagri, Gubernur, Badan Kesbangpol Provinsi, para Pengurus PPWK di daerah, termasuk DPRD tidak terlaksana dengan baik.
Catur juga menambahkan, permasalahan lainnya seperti SOP pelaksanaan kebijakan PWK di Provinsi yang belum dibuat, belum terlihatnya penyebaran tugas dan tanggung jawab Gubernur dan DPRD setempat, serta belum adanya koordinasi yang dilakukan Gubernur dan DPRD setempat.
Direktur Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan Kemendagri Prabawa Eka Soesanta menyangkal pernyataan Catur yang menyatakan, tidak terlaksananya koordinasi yang dilakukan Ditjen Polpum dengan daerah.
Menurut Prabawa, selama ini Ditjen Polpum aktif melakukan pembinaan kepada daerah dengan indeks demokrasi dan toleransi yang paling rendah. “Tidak mungkin Ditjen Polpum melakukan turun langsung ke semua daerah, karena dana kita juga terbatas. Jika tidak melakukan pembinaan itu juga salah, karena belum lama ini kita baru saja melaksanakan rakor di Bali dan mengundang lembaga kesbangpol se-Indonesia,’ tuturnya.
Prabawa menyarankan beberapa hal terkait hasil kajian peneliti BPP Kemendagri. Menurutnya sebelum menyimpulkan kebijakan PWK di daerah, harus disebutkan dulu berapa indeks demokrasi, indeks toleransi di daerah yang menjadi lokus kajian. “Di dalam kajian belum muncul itu, bagaimana indeks demokrasi, bagaimana pusat pendidikan PWK di daerah, itu harus dikupas dulu. Baru berbicara kebijakan PWK,” sarannya.
Hasil penelitian Puslitbang Otda, Politik, dan PUM memberikan rekomendasi, pendanaan PWK perlu dialokasikan secara tersendiri dan memadai dalam APBD Provinsi, agar seluruh kegiatan PWK di Provinsi (khususnya kegiatan training of facilitator, outbound, permainan, dan cerdas cermat) dapat dilaksanakan.
“Rekomendasi berikutnya adalah pendanaan pelaksanaan kegiatan PWK di Provinsi jangan hanya ditempelkan pada pendanaan anggaran rutin di Badan Kesbangpol Provinsi. Gubernur perlu melakukan peninjauan terhadap pelaksanaan PPWK di daerah ini, walaupun para Pengurus PPWK di daerah bersifat “ex officio”, tetapi komitmennya untuk menyukseskan pelaksanaan kebijakan PWK di daerah harus tetap tinggi,” ucap Catur.
Dalam Permendagri No 71 Tahun 2012 Tentang Pedoman PWK, salah satu tujuan dari pelaksanaan kebijakan PWK di daerah adalah mengoptimalkan pengembangan dan pelaksanaan nilai kebangsaan guna pemberdayaan dan penguatan kesadaran berbangsa dan bernegara yang berlandaskan pada nilai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. (MSR)