Bandung – Daun dan herba tanaman stevia mengandung senyawa yang memiliki rasa manis (Glikosida steviol, GS) dengan kadar cukup tinggi mulai dilirik para peneliti. Salah satunya yang melakukan penelitiam berasal dari tim peneliti dari staf dosen Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (SF-ITB).
Dilansir laman resmi ITB, para pengajar mereka melakukan penelitian bertajuk “Pengembangan Proses Produksi Pemanis Alami Glikosida Steviol (Stevia) dari Daun Tanaman Stevia”. Tim peneliti tersebut terdiri dari Rahmana Emran Kartasasmita, Elfahmi, Muhammad Insanu dan As’ari Nawawi.
Sebagai pemanis intensitas tinggi (high intense sweetener), GS memiliki tingkat kemanisan yang tinggi, sehingga pada kadar rendah sudah mampu memberikan rasa manis yang memadai. Sebagai ilustrasi, untuk memaniskan satu cangkir minuman, cukup digunakan 30-40 mg GS yang lazimnya digunakan dalam bentuk saset.
Keunggulan lainnya, GS tidak memiliki nilai kalori sehingga tidak akan menyebabkan kenaikan gula darah setelah dikonsumsi. Oleh karena itu, pemanis alami ini sesuai untuk digunakan oleh penderita diabetes maupun yang memerlukan asupan kalori rendah seperti yang sedang melakukan diet rendah kalori.
Salah satu peneliti, Rahmana Emran Kartasasmita menjelaskan, bahwa penelitian yang dilakukan oleh timnya sudah dimulai sejak 2012. Namun pada tahun tersebut, masih dilaksanakan dalam skala laboratorium.
Baru pada 2015 tim mendapatkan dana penelitian dari Kementerian Kesehatan melalui program Fasilitasi Pengembangan Bahan Baku Obat (BBO) dan Bahan Baku Obat Tradisional (BBOT). Berkat pendanaan tersebut, penelitian dapat dilakukan pada skala yang lebih besar dengan menggandeng PT Kimia Farma sebagai industri mitra.
Emran menuturkan, melihat banyaknya manfaat pemanis stevia, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan, ia berharap GS bisa diproduksi dari stevia yang ditanam di Indonesia. Dari segi regulasi di Indonesia, GS sudah diizinkan untuk digunakan pada berbagai produk pangan berdasarkan Perka BPOM sejak tahun 2014.
“Kami sebagai tim peneliti menginginkan pemanis alami GS dapat diproduksi di Indonesia sehingga tidak perlu import, mengingat tanaman stevia sebagai bahan bakunya cocok ditanam di Indonesia khususnya di daerah Ciwidey,” kata Emran, Senin, 9 Juli 2018.
Lebih lanjut Emran menjelaskan, setiap hektare lahan bisa ditanami sekitar 50 ribu bibit dengan kapasitas produksi 12 ton daun basah per tahun dengan 12 kali panen atau setara dengan 1,2 ton daun kering.
Berdasarkan hasil analisis, diketahui kandungan total GS dari dalam daun stevia kering minimum sekitar 10%, sehingga 1,2 ton daun kering akan menghasilkan 120 kg pemanis stevia dalam 1 tahun.
Kebutuhan di Indonesia
Saat ini, estimasi kebutuhan tahunan stevia di Indonesia sekitar 350 ton stevia per tahun. Bila 10% dari kebutuhan tersebut, atau 35 ton pertahun akan diproduksi di Indonesia, maka diperlukan lahan tanaman stevia seluas 292 hektare. Sementara saat ini hanya beberapa hektare saja lahan yang ditanami stevia di daerah Ciwidey.
Namun demikian, pemda setempat akan memberikan dukungan untuk menjadikan stevia sebagai unggulan daerah dan akan memfasilitasi penyediaan lahan, bila stevia akan ditanam pada skala besar untuk mendukung industri yang memproduksi GS sebagai pemanis alami.
“Sepanjang yang saya ketahui, di daerah Ciwidey, jika ingin menanam stevia dalam skala komersial banyak lahan-lahan yang bisa disewa,” ujarnya.
Saat ini di sana sudah ada tanaman stevia. Namun, karena belum ada industri yang membutuhkan tanaman stevia dalam kuantitas besar, petani belum tertarik untuk menanam pada lahan yang luas.
“Daun stevia yang dihasilkan dari lahan yang ada saat ini, baru dikeringkan dan dijual sebagai daun stevia kering oleh petani,” papar Emran.
Proses Ekstraksi
Stevia termasuk ke dalam famili asteracaeae (compositae). Tanaman ini berbentuk perdu dengan tinggi 60-90 cm, bercabang banyak, berdaun tebal hijau dan berbentuk lonjong memanjang, batang kecil dan berbulu.
Proses ekstraksi daun stevia tidaklah sulit. Daun hasil panen yang telah dipetik petani kemudian disortir dan dikeringkan terlebih dahulu. Setelah kering lalu dirontokkan daunnya dari tangkai.
Lalu dilanjutkan proses penghancuran menggunakan mesin agar lebih halus berbentuk bubuk. Baru kemudian dilakukan proses ekstraksi, dengan berbagai teknik, ada yang menggunakan air terlebih dahulu atau pelarut lain yang diizinkan untuk pengolahan pangan.
Selanjutnya, proses pemurnian dan pengkristalan menjadi serbuk GS yang berwarna putih.
Semua hasil penelitian ini sudah dilaporkan dan diserahkan ke Kementerian Kesehatan sebagai pemberi dana. Untuk tindak lanjut produksi stevia pada skala komersial, Kementerian Kesehatan akan memfasilitasi bila ada industri yang berminat.
“Oleh sebab itu kami berharap ada industri yang berminat dan bisa menindaklanjuti hasil penelitian ini,” Emran menerangkan.
Kemanisan senyawa GS sendiri diketahui mencapai 300 kali lipat dari gula, sehingga GS yang diperoleh melalui ektraksi daun dan herba tanaman stevia ini banyak digunakan sebagai pemanis alami pensubstitusi gula, khususnya bagi yang memerlukan asupan kalori rendah.
GS sebagai pemanis alami sudah lama digunakan dan dinyatakan aman oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) sebagai organisasi international di bawah FAO dan WHO yang mengeluarkan berbagai standar dalam bidang pangan.
Namun di Indonesia, pemanis alami tersebut masih sepenuhnya diimpor. Padahal tanaman bernama Latin Stevia rebaudiana bertoni ini bisa hidup dan cocok untuk ditanam di dataran tinggi di Indonesia, seperti di daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung.
Sampai sekarang, belum ada satu pun industri di Indonesia yang melakukan ekstraksi daun stevia dan memproduksi GS sebagai pemanis alami pada skala komersial. (IFR/Liputan6.com)