KUPANG – Bagaikan lautan batik, beragam pejabat dan peneliti daerah dari Sabang sampai Merauke berkumpul di Auditorium Hotel Aston, Kupang, NTT. Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kelitbangan Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) yang berlangsung selama tiga hari (14-16 Maret 2016) itu mendapatkan sambutan antusias dari peserta. Plt. Kepala BPP Kemendagri, Domoe Abdie, mengatakan, tujuan diadakan Rakornas Kelitbangan 2016 ini adalah agar terwujudnya kesepakatan strategis kinerja BPP.
“Tujuan Rakornas ini adalah terwujudnya sinergitas lembaga kelitbangan yang kita harapkan terus menerus dari dampak inovasi kebijakan pemerintahan nasional dan pemerintah daerah,” katanya.
Dalam sambutan yang ia bawakan serentak sebagai simbol dibukanya Rakornas Kelitbangan 2016 itu, Domoe berpesan kepada seluruh peserta agar bersinergi dengan kebijakan di daerah sampai dengan perdesaan, sebagaimana agenda Nawacita yang saat ini dalam poros pembangunan nasional dan daerah. “Melalui Rakornas Kelitbangan ini, diharapkan melahirkan kesepakatan strategis terkait inovasi daerah, yang pada hakikatnya masih berserakan. Baik di tataran birokrasi, masyarakat maupun di lingkungan swasta,” tambahnya.
NTT sebagai tuan rumah
Sebagai tuan rumah Rakornas kali ini, Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, sangat senang dan berterima kasih kepada Kementerian Dalam Negeri dan BPP. “Atas nama pemerintah dan masyarakat NTT, saya berterima kasih banyak kepada Mendagri dan BPP yang telah memperkenalkan secara luas NTT kepada seluruh peserta. Saya mengucapkan selamat datang kepada semua peserta, ternyata masih ada Kupang di sini,” candanya.
Menurutnya, keberadaan BPP sangat penting untuk menunjang kemajuan pemerintahan dalam negeri. Terutama tema Rakornas Kelitbangan kali ini yang mengangkat tema Kemaritiman. Baginya, NTT sangat cocok dengan tema kemaritiman. Laut NTT lebih luas dari luas daratannya.
“Daerah kepulauan tentu berbeda dengan daerah kontinental, latar belakang dan tantangannya mesti berbeda. Secara de facto NTT bersama 7 provinsi lainnya diakui sebagai daerah kepulauan, tetapi secara de jure belum diakui. Kami berharap mendapatkan bantuan dari hasil Rakornas ini untuk mendorong secara yuridis NTT sebagai daerah kepulauan,” terang Gubernur yang baru-baru ini melantik Bupati dan Wakil Bupati di NTT itu.
NTT sendiri menurut Frans, terdiri dari 1192 pulau, berbatasan darat dengan Timor Leste dan laut dengan Australia. Dengan jumlah penduduk 5,6 juta berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) NTT dikenal dengan daerah miskin. “Ada 21 kabupaten tertinggal, karena disebut daerah tertinggal, banyak pejabat yang takut ditempatkan di NTT. Padahal kami tengah membangun NTT dengan kerja keras dari sektor ekonomi,” katanya.
Ia menceritakan, NTT tengah bertekad menjadi provinsi koperasi, mengingat banyak masyarakat di kampung yang daya tawarnya lemah sehingga perlu diwadahi dan memunyai daya tawar yang tinggi. “Dari dulu kami makan jagung, namun sejak ada kebijakan pangan akhirnya jagung ditinggal. Kami percaya jagung tidak salah jika dikonsumsi. Tidak ada penelitian yang mengatakan makan jagung bodoh. Kami juga banyak ikan di sini, tapi ikannya dibawa ke Surabaya dan Bali. Mereka tidak tahu, karena ikan tidak punya KTP,” celotehnya seraya berkelakar.
Ia menambahkan, banyak destinasi wisata menarik di NTT, seperti pulau Komodo. “Komodo hanya ada di NTT. Orang sering bilang NTT singkatan dari Nasib Tidak Tentu, tapi ada yang menghibur menjadi Nanti Tuhan Tolong. Tapi saya mau menciptakan NTT sebagai New Tourism Territorial,” tegasnya.
Terakhir, ia sangat berharap kehadiran para peserta Rakornas Kelitbangan 2016 ini bisa memberikan semangat bagi warga NTT untuk maju seperti daerah-daerah lain di Indonesia. “Kita tidak boleh mengeluh, kita harus semangat membangun negara yang besar. Prinsipnya tidak hanya efisiensi, tapi dengan rasa nasionalisme. Tidak boleh ada diskriminasi di negeri ini, meski kami di perbatasan, kami tetap merah putih!” tutupnya.
Tiga agenda penting
Hadir pula dalam acara pembuka, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Yuswandi Temenggung mewakili Menteri Dalam Negeri yang berhalangan hadir. Menurut Yuswandi, ada tiga agenda penting pada Rakornas kali ini. Pertama soal evaluasi kerja seluruh BPP di Indonesia.
“Kegiatan rutinitas dalam Rakornas kali ini mencoba me-review apa yang sudah kita lakukan dan dirumuskan tahun lalu. Jangan-jangan masih banyak hal yang tidak kita perhatikan dalam program tahun lalu,” kata pria asal Lampung itu.
Yuswandi berpesan agar para pejabat BPP betul-betul memanfaatkan momen tersebut sebagai bahan evaluasi dan pembelajaran yang nantinya bermanfaat ketika kembali ke daerahnya masing-masing.
“Lalu yang kedua, dalam Rakornas tahun ini ada penekanan khusus terkait inovasi layanan publik. Saya kira, kita harus cermat dengan inovasi layanan publik nyata. Kadang-kadang kita sebagai birokrat tidak menyadari apa yang terjadi di lingkungan kita, sehingga kita tidak siap menyajikan rumusan program,” paparnya
Ia mencontohkan inovasi publik yang berkembang seperti bisnis aplikasi kendaraan online yang asetnya secara dunia bisa mencapai triliunan. “Bagaimana pemerintah mempersiapkan dan mengatasi kemajuan ini. Di sektor publik, sudahkah kita antisipasi itu? Kita harus lebih cepat dari kebutuhan masyarakat. Begitu banyak tuntutan layanan informasi pelayanan publik yang berkaitan dengan kelitbangan, tugas kita sekarang bagaimana memobalisasi SDM yang tersedia,” jelasnya.
Menurut Yuswandi, hal yang sering terlewat seperti yang dikatakan Gubernur NTT terkait potensi jagung. Koperasi yang ada padahal dijamin UUD dan dibutuhkan daerah terpencil seperti NTT, nyatanya koperasi tidak sampai ke tempat itu. “Dari unsur kelitbangan, ini saat yang tepat untuk berkumpul. Kalau fungsi itu tidak ada, mengapa kita adakan Rakornas. Cari unit kerja lain yang dibentuk. BPP dalam unsur manajemen perlu dibenahi. Sekali lagi, kecerdasan kita melihat fungsi kelitbangan manakala SDM nya cermat,” kata pria yang sudah 17 tahun berpengalaman di BPP itu.
Terakhir, agenda Rakornas yang tidak kalah penting adalah soal tema kemaritiman. Menurutnya, bicara kemaritiman sangatlah luas. Namun hal itu bisa diakali dengan menumbuhkan bibit/magnet yang menjadi patokan majunya potensi kemaritiman daerah.
“Kalau dikatakan komodo daerah wisata nasional, daerah yang lain mestinya siap. Jika diikuti yang lain, saya rasa akan menimbulkan kebijakan pariwisata yang luar biasa. Fungsi bapak/ibu peserta di sini sangat penting untuk kemajuan daerah. Hilangkan dikotomi jabatan struktural dan fungsional. Bahkan kalau kita berpikir secara jernih, struktural sangat terbatas, sehingga akan memfokuskan kebijakan masing-masing. Memang butuh waktu, apalagi sebagai peneliti dibutuhkan ketekunan,” terangnya.
Suara daerah
Masih di hari yang sama, sesaat setelah pemukulan gong tanda dibukanya Rakornas Kelitbangan 2016, seluruh peserta dibawa ke ruang rapat lantai 3 Hotel Aston untuk audiensi. Beberapa pejabat BPP dipersilakan bertanya dan mengadukan semua masalah yang ada di daerah bersama Plt. Kepala BPP dan Sekjen Kemendagri satu per satu suara dari BPP Daerah itu mulai keluar.
Adalah M. Ajak Moeslim dari BPP Banten yang pertama kali angkat bicara. Ia menanyakan soal klasifikasi BPP berdasarkan kriteria.
“Sebaiknya klasifikasi berdasarkan akreditasi, bukan berdasarkan jumlah penduduk, jumlah anggaran dsb,” imbuhnya.
Hal yang sama juga dipertanyakan oleh Teguh Winarno, Kepala BPP Provinsi Jawa Tengah. “Kami masih kurang SDM. Hampir di semua provinsi tidak ada tenaga perekayasa. Sementara untuk melakukan kerja kelitbangan harus ada tenaga perekayasa,” tanyanya.
Taufik Rahman dari BPP Kalsel juga mengeluhkan pengklasifikasian BPP. Baginya, klasifikasi BPP harus didasarkan oleh kebutuhan masing-masing provinsi. Selain itu, kurang sinerginya antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menjadi salah satu kendala majunya BPP Daerah. “BPP Pusat harus sinergi dengan BPP Daerah. Selama ini kalau ada acara atau program kami tidak pernah dilibatkan, begitu pula dengan program daerah yang tidak pernah dihadIri BPP Pusat,” paparnya.
Semua pertanyaan dan keluhan ditampung lalu dijawab satu per satu oleh Yuswandi. Menurutnya, saat ini tengah digodok PP No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. “Nantinya daerah punya nomenklatur tersendiri yang seharusnya melihat struktur yang ada di nasional. Inti dari kelembagaan adalah urusan yang akan kita kerjakan dalam rangka pelayanan publik. Semua dipetakan dalam UU No 23 Tahun 2014 supaya memunyai sinergi,” jawabnya.
Terkait penambahan tenaga perekayasaan, Yuswandi menjawab nanti akan didiskusikan oleh Kepala BPP. “Intinya harus ada alasan fungsional yang tidak didiskriminasi. Semua pegawai ada jabatannya, namanya JFU,” jawabnya.
Audiensi digelar hingga pukul 23.00 WITA dan ditutup oleh Plt. Kepala BPP Kemendagri. “Saya rasa, pertemuan kali ini, kita cukup merasakan kegelisahan. Organisasi tidak selamanya tetap, masyarakat berubah, maka kita harus berubah lebih baik lagi,” tutupnya. (IFR)