Kritik Johanes Eka Priyatma di harian Kompas (27/9/2016) terhadap rekomendasi “Diskusi Kompas” tentang kuantitas, kualitas, dan kontribusi riset untuk pembangunan nasional menarik untuk ditanggapi.
Intinya, Johanes Eka Priyatma (JEP) memandang solusi yang ditawarkan “Diskusi Kompas” itu tak menyentuh akar masalah. Sebagai alternatif, JEP menawarkan pendekatan yang lebih struktural dan komprehensif. Menurut dia, persoalan riset di Indonesia tidak cukup dianalisis dengan hanya pendekatan input sumber daya, seperti dana, sumber daya manusia, regulasi, dan agenda jangka panjang. JEP menunjukkan peningkatan anggaran riset dari pemerintah telah terbukti tak serta-merta meningkatkan kualitas riset. Demikian pula halnya penambahan jumlah peneliti ternyata juga tak mengungkit kinerja riset.
Bagi JEP, kegiatan riset harus dipandang sebagai sebuah realitas yang tidak terpisah dan sebagai akibat dari suprastrukturnya, yakni strategi pembangunan, khususnya perihal inovasi. JEP menilai kegiatan riset yang ada tidak terkait langsung dengan kegiatan inovasi di dunia nyata (baca: industri). Sebagian besar kegiatan riset, terutama di universitas, hanya berorientasi pada pengakuan akademik. Singkatnya, riset tidak berkembang karena memang tak dibutuhkan.
Gagasan JEP di atas merangsang kita untuk mengernyitkan dahi. Sayangnya, alih-alih memberikan jalan keluar yang sederhana, saya khawatir JEP justru mengajak kita masuk ke palung yang dalam dan gelap. Dalam kondisi saat ini, mengganti paradigma pembangunan mungkin sama muskilnya dengan memindahkan gunung batu. Pengembangan riset harus ditempuh melalui cara-cara yang lebih pragmatis. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memutus gejala saling asing (mutually exclusive) di antara kegiatan penelitian di perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan praksis pengembangan produk baru (inovasi) oleh industri.
Untuk itu perlu terobosan kebijakan tentang tata kelola riset berbasis pada prinsip pembagian risiko di antara para pihak. Saling asing Dalam perekonomian berbasis ilmu pengetahuan, universitas merupakan unsur inti dari infrastruktur intelektual suatu daerah (Lendel, 2010). Idealnya, kegiatan penelitian universitas berkontribusi langsung terhadap pembangunan daerah. Salah satu bidang yang memungkinkan terjadinya kontribusi penelitian terhadap pembangunan perekonomian suatu daerah adalah bidang pangan.
Pertumbuhan bisnis dan industri pangan yang sangat pesat, seiring pertambahan penduduk dan peningkatan kesejahteraan serta daya beli masyarakat , memerlukan pasokan pengetahuan, teknologi, dan produk pangan baru. Sayangnya, ada gejala saling asing yang akut antara kegiatan penelitian di universitas dan praksis pengembangan oleh pelaku usaha. Kaitan antara riset pangan universitas atau lembaga penelitian dan praksis pengembangan produk pangan oleh pelaku usaha sangat minimal.
Pengalaman di Jawa Tengah menunjukkan telah berlangsung proses saling asing antara kegiatan penelitian pangan oleh universitas di satu sisi dan pengembangan produk pangan oleh pelaku usaha di sisi lain. Pelaku usaha berhasil mengembangkan/ merekacipta banyak produk pangan baru yang bukan saja inovatif, melainkan juga bernilai tambah tinggi dan sekaligus berhasil di pasar (Widianarko, 2011). Produk pangan yang berhasil dikembangkan pelaku usaha tanpa melalui jalur penelitian formal (oleh universitas) antara lain ceriping, getuk, sirup berbasis buah lokal, bandeng duri lunak, marning, “dodol” tomat, manisan buah, olahan tahu, dan aneka minuman serbuk.
Produk-produk seperti Gethuk Trio Magelang, Bandeng Duri Lunak Semarang, Marning Boyolali, Gethuk “Putih” Salatiga, Tomat Rasa Korma Bandungan, dan Tahu Bakso Ungaran berhasil menjadi ikon daerahnya masing masing. Salah satu rahasia di balik keberhasilan mengembangkan produk-produk pangan lokal itu adalah kemampuan mereka dalam mendengar suara konsumen. Namun, dari perspektif penelitian sebenarnya yang mereka lakukan, sebagian besar masih bertumpu pada metode coba-coba (trials and errors) yang diramu dengan intuisi bisnis. Berbagi risiko Dari tahun ke tahun, pendanaan penelitian yang tersedia untuk universitas cenderung terus meningkat dan sudah selayaknya tidak jadi masalah lagi. Yang diperlukan sekarang adalah penetapan prioritas penelitian yang berorientasi pada produk.
Gejala saling asing antara penelitian universitas dan pengembangan produk komersial bersumber pada ketiadaan prinsip berbagi risiko. Hal ini menyebabkan pelaku penelitian menghasilkan penelitian yang tak memiliki nilai terap sehingga hasil penelitiannya tidak akuntabel. Untuk itu diperlukan sebuah tata kelola penelitian baru yang didasarkan pada prinsip berbagi risiko. Kerja sama penelitian berbasis berbagi risiko memang tuntutan alamiah dari knowledge economy. Dalam pendekatan baru ini, institusi pelaku penelitian dituntut mampu menciptakan nilai ekonomi dari kegiatan penelitian. Dengan kata lain, kegiatan penelitian dan ilmiah harus bermuara pada value creation. Di samping itu, dalam knowledge economy, setiap kerja sama maka para pihak memiliki hak dan tanggung jawab.
Hal ini tentu juga berlaku bagi pekerja ilmu yang bernaung di universitas. Definisi formal untuk risk-sharing agreement dalam kerja sama penelitian, menurut De Pouvourville (2006), adalah “kontrak di antara dua pihak yang sepakat bertransaksi dengan kesadaran penuh bahwa ada ketidakpastian yang melekat pada hasil dan nilai akhir produk penelitian yang dihasilkan”. Dengan demikian, kedua pihak siap menerima imbalan dan sanksi sesuai status produk penelitian yang dihasilkan.
Jika hasil penelitian terbukti memiliki nilai komersial yang tinggi, pihak pemberi proyek harus bersedia memberikan imbalan (sesuai kesepakatan), sedangkan jika terjadi sebaliknya, pihak pelaksana proyek harus bersedia menerima sanksi. Model tata kelola penelitian berbasis berbagi risiko di atas tentu saja sangat berbeda dari kelaziman pelaksanaan proyek penelitian di universitas hingga saat ini. Kebiasaan yang berlaku selama ini masih mengasumsikan bahwa setiap pelaku kegiatan penelitian-bagaimanapun status hasilnya-sudah selayaknya mendapatkan imbalan atas jerih payahnya.
Dalam kerangka ini, penetapan imbalan dan sanksi menjadi hal yang strategis. Imbalan (finansial) yang disediakan untuk produk pangan yang berhasil harus menarik peneliti untuk melaksanakan proyek penelitian. Sanksi (finansial) yang dapat dibebankan kepada peneliti yang gagal menghasilkan produk yang sukses adalah peniadaan imbalan bagi jerih payahnya. Meski demikian, direkomendasikan agar semua biaya penelitian tetap ditukar (at cost) oleh pemberi proyek. Dengan tata kelola baru ini, setiap kegiatan penelitian pangan dengan sendirinya akan akuntabel dan berpeluang besar untuk menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi dan berhasil di pasar. (IFR)
Y BUDI WIDIANARKO
Rektor Unika Soegijapranata dan Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah