News

Opini: Anggaran dan Berbagai Masalah Riset Indonesia

JAKARTA – Sejak akhir tahun lalu terdengar keluhan soal turunnya anggaran riset. Anggaran indikatif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) turun dari Rp 1,1783 triliun untuk alokasi 2016 menjadi Rp 1,1662 triliun rupiah untuk tahun 2017.

Anggaran yang sama untuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) turun dari Rp 977,1 miliar menjadi Rp 949,1 miliar. Baru-baru ini juga diberitakan bahwa anggaran penelitian dan pengabdian masyarakat di perguruan tinggi juga dipotong dari Rp 250 miliar menjadi Rp 150 miliar.

Sepertinya ini bagian dari program pemotongan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah di seluruh sektor. Tegasnya, pemerintah sedang kekurangan uang.

Secara umum anggaran riset kita memang masih sangat rendah. Nilai anggaran hanya berkisar di angka US$ 2 miliar per tahun, dan hanya sebesar 0,08% dari Gross Domestic Product (GDP). Bandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang menganggarkan sekitar US$ 7 miliar, dengan persentase terhadap GDP sebesar 1,3% untuk Malaysia dan 7% untuk Singapura.

Kekurangan anggaran adalah masalah yang paling banyak dikeluhkan oleh para peneliti. Keluhan itu sah adanya, karena faktanya memang sedikit. Karena itu, jangan salahkan kami kalau produktivitas riset kami rendah, kata para peneliti. Nah, bagian ini perlu kita lihat dengan kritis.

Iran itu hanya menganggarkan US$ 0,7 miliar per tahun untuk riset, atau sekitar 1,2% dari GDP. Bila dihitung dengan anggaran riset per kapita nilainya adalah US$ 9,08 . Sedangkan Indonesia nilai riset per kapita adalah US$ 8,09. Nilainya tak terpaut jauh. Tapi coba lihat produktivitasnya. Selama setahun (2014) para peneliti Iran menghasilkan 43 ribu dokumen publikasi ilmiah. Sedangkan para peneliti Indonesia hanya menghasilkan 6 ribu publikasi.

Di luar masalah minimnya dana, masalah mentalitas dan kreativitas peneliti adalah masalah terbesar pada dunia riset kita. Keluhan soal minimnya dana adalah bagian dari masalah itu. Banyak guru besar yang terancam dipotong tunjangannya, karena tidak melakukan kegiatan penelitian. Guru besar tidak meneliti itu ibarat pemain sepak bola tidak main bola. Suatu hal yang tidak masuk akal sebenarnya. Tapi hal yang tidak masuk akal itu terjadi di Indonesia.

Artinya, banyak peneliti yang menjadikan masalah anggaran sebagai dalih saja. Sementara itu ada peneliti lain yang tetap produktif menghasilkan karya ilmiah, meski dana minim.

Kalau Iran dengan nominal anggaran per tahun di bawah Indonesia (persentase GDP dan nilai anggaran per kapita hampir sama) bisa menghasilkan publikasi ilmiah 7 kali lebih banyak dari Indonesia, sebenarnya apa masalah kita? Sederhananya, banyak peneliti melakukan penelitian abal-abal. Banyak peneliti mengajukan proposal riset, kemudian mendapat dana, bukan untuk menghasilkan karya ilmiah, melainkan sekedar untuk menambah penghasilan.

Masalah lain adalah soal prioritas. Dua tahun yang lalu atasan saya meminta saya untuk mencari informasi soal prioritas riset yang dicanangkan pemerintah Indonesia. Saya dapatkan dokumennya dari Kementerian Riset dan Teknologi. Setelah membaca dokumen itu, atasan saya berkomentar pendek, “Tidak ada prioritas, semua mau dikerjakan.” Beberapa tahun sebelumnya seorang teknopreneur di bidang desain kapal laut juga mengeluhkan hal yang sama. Ia menemukan informasi bahwa Kementerian Perindustrian menetapkan 14 prioritas pengembangan industri. Prioritas kok ada 14!

Masalah lain adalah soal pembagian peran. Ketika baru menjabat sebagai Menristek Dikti, M Nasir menyatakan akan melakukan hilirisasi riset. Riset akan difokuskan pada tema-tema yang bisa menghasilkan produk komersial. Sepertinya dia tak paham bahwa rumus umum di dunia riset adalah bahwa lembaga riset pemerintah bertugas melakukan riset-riset dasar, membangun platform teknologi. Sedangkan riset yang bersifat pengembangan produk lebih merupakan tugas perusahaan swasta.

Berita gembiranya adalah kinerja riset kita mengalami peningkatan. Jumlah publikasi ilmiah kita di tahun 2010 hanya sekitar 2.300, setiap tahun meningkat, dan kini mencapai lebih dari 6 ribu publikasi per tahun. Kuncinya adalah bagaimana para peneliti kita berhenti mengeluh, dan menggunakan energi mereka untuk meningkatkan kreativitas dan produktivitas. (IFR/Detik.com)

*) Hasanudin Abdurakhman adalah cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia.

Join The Discussion