Dikutip dari tempo.co, jika ingin melihat kemajuan suatu bangsa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, lihatlah jumlah penelitinya. Tengok pula kualitas dan kuantitas karya mereka. Kondisi negara kita dalam hal ini amat memprihatinkan: tertinggal jauh dari negara maju, kalah dibanding negara tetangga.
Sesuai dengan data Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2015, negara kita memiliki 269.956 peneliti dari total populasi atau 1.071 peneliti per sejuta penduduk. Angka ini tak sampai separuh dari Malaysia, yang memiliki rasio 2.590 peneliti per sejuta penduduk. Singapura bahkan mencapai rasio 7.000 peneliti per sejuta penduduk.
Di tengah bidang riset yang terpuruk tersebut, Tempo melihat sisi positif: munculnya sejumlah perempuan peneliti yang berprestasi. Mereka adalah Athanasia Amanda Septevani, Korri Elvanita El Khobar, Ratih Damayanti, Indri Badria Adilina, Dewi Nur Aisyah, dan Sastia Prama Putri. Prestasi keenam peneliti itu dipaparkan dalam liputan khusus Tempo pekan ini untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Mereka berperan menemukan alat, skema, atau metode baru bagi dunia sains dan teknologi.
Kisah Athanasia Amanda dan kawan-kawan bisa menjadi inspirasi kita dalam mengembangkan sains, teknologi, keteknikan, dan matematikabidang yang selama ini didominasi kaum Adam. UNESCO menyebutkan rata-rata di dunia porsi perempuan peneliti hanya 30 persen dari total peneliti. Dibandingkan dengan rasio umum ini, komposisi perempuan peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia cukup menggembirakan pula, yakni 41 persen. Pada 2017, jumlah perempuan peneliti di LIPI sebanyak 4.017 orang dan jumlah laki-laki peneliti sebanyak 5.644 orang.
Kabar menyenangkan lain datang dari Presiden Joko Widodo, yang hampir dipastikan memenangi pemilihan umum kali ini. Ia berjanji di depan peserta Rembuk Nasional Pendidikan Kebudayaan di Depok, Jawa Barat, Februari lalu, mengubah fokus penganggaran dari pembangunan infrastruktur ke pengembangan sumber daya manusia. Jokowi harus segera mewujudkan janji itu, antara lain, dengan memperbanyak jumlah peneliti dan memperbesar anggaran riset agar tidak makin tertinggal dari negara lain.
Menurut portal SCImago Journal & Country Ranking, Indonesia menempati posisi ke-52 di dunia dalam jumlah publikasi ilmiah yang diacu peneliti lain. Selama 1996-2017, peneliti kita mempublikasikan 75.220 makalah. Sedangkan peneliti Thailand (peringkat ke-42 dunia) menerbitkan 156.829 makalah dan Malaysia (peringkat ke-34) mempublikasikan 248.457 makalah.
Dalam soal paten, kita juga jauh tertinggal. Menurut Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, jumlah paten Indonesia yang terdaftar di kantor paten Amerika Serikat sampai 2015 hanya 312. Malaysia, misalnya, mencapai lebih dari 2.400 paten dan Singapura lebih dari 9.000 paten.
Saat ini anggaran belanja riset dan pengembangan kita sekitar 0,25 persen dari produk domestik bruto. Angka ini jauh di bawah negara-negara maju. Anggaran riset Finlandia, misalnya, 3,3 persen dari PDB; Jepang 3,5 persen; dan Korea Selatan 4,1 persen.
Kisah Athanasia Amanda dan kawan-kawan semestinya mengilhami kita semua, terutama pemerintah, dalam mengembangkan riset. Mereka tetap bisa menunjukkan prestasi di tengah keterbatasan fasilitas. Pemerintah harus segera memperbanyak fasilitas dan anggaran riset demi mempercepat kemajuan bangsa.