JAKARTA – Dalam pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC di Da Nang, Vietnam, pekan lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa laut harus menjadi pusat pembangunan ekonomi bagi anggota APEC karena letak geografisnya yang berada di Samudera Pasifik, samudera terluas di dunia.
Presiden juga mengatakan bahwa Indonesia mendorong pengarusutamaan isu-isu kelautan, salah satunya dalam mengatasi sampah plastik di laut.
Soal sampah plastik di laut, Indonesia tercatat sebagai pemasok terbanyak kedua di dunia, yakni sebesar 187,2 juta ton. China di peringkat pertama dengan volume sampah mencapai 262,9 juta ton.
Adapun urutan ketiga Filipina sebanyak 83,4 juta ton, selanjutnya Vietnam sebanyak 55,9 juta ton, dan Sri Lanka sebanyak 14,6 juta ton per tahun.
Jumlah pasokan sampah ini merupakan hasil riset Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, yang dipublikasi pada 2015.
Sampah plastik yang telah menyatu dengan lautan ini tidak hanya terombang-ambing di permukaan laut atau terempas ke pinggiran pantai. Hasil penelitian terbaru, di palung (jurang bawah laut yang dalam dan sempit) yang terdalam di dunia telah terkontaminasi plastik.
Adalah Alan Jamieson, ahli ekologi kelautan dari Newcastle University di Inggris dan tim telah melakukan penelitian di Palung Kermadec dan Palung Mariana.
Para ilmuan ini menemukan mikroplastik pada krustasea yang hidup di kedalaman 10.000 meter di Palung Kermadec Pasific Selatan dan di utara Palung Mariana di kedalaman 10.250 meter (Kompas 17/11/2017). Temuan ini seperti dimuat dalam Jurnal Nature Evolution and Ecology.
Palung di Indonesia
Perairan Indonesia memiliki beberapa palung yang dalam. Palung Mindanao dengan kedalaman maksimum 10.830 meter, palung Weber/Banda 7.440 meter dan palung Jawa 7.140 meter.
Selanjutnya, palung Butung 4.180 meter, palung Sangihe 3.850 meter, Palung Talaud 3.450 meter, Palung Ternate 3.450 meter, palung Timor 3.310 meter dan Palung Makassar 2.540 meter.
Palung Weber di Laut Banda, Maluku, adalah yang terdalam dengan lereng yang curam, kemudian palung Jawa 7.140 meter di Samudera Hindia. Bandingkan dengan puncak Gunung Jaya Wijaya di Papua, tingginya “hanya” 4.884 meter dari permukaan laut.
Pada 1950-1952, menurut Anugerah Nontji (2009), telah dilakukan ekspedisi Galathea. Melalui ekspedisi ini, palung-palung laut dalam di dunia telah diteliti.
Inilah penelitian produktivitas organik dan mikrobiologi laut pertama di Indonesia. Yang mendapat perhatian adalah palung Mindanao, Palung Jawa dan Palung Banda.
Berdasarkan ekspedisi ini, ilmuwan mengoleksi hewan laut yang hidup di Palung Mindanao. Dari Palung Jawa dengan kedalaman 7.140 meter telah diperoleh sejumlah spesimen teripang. Temuan ini menunjukkan biota laut dapat hidup di kedalaman dengan lingkungan ekstrem.
Riset sampah plastik
Agung Dhamar Syakti, Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, dan Noir Primadona Purba selaku pengajar Ilmu Kelautan di Department of Marine Science, FPIK-Universitas Padjajaran, Bandung, mengemukakan bahwa riset sampah plastik di laut Indonesia belum menjadi daya tarik tersendiri.
Penelitian ini masih dapat dihitung dengan jari. Setidaknya, sejak 1970 hingga 1980 hanya lima (5) publikasi pada jurnal bereputasi.
Minimnya riset sampah plastik di laut berkelindan dengan kondisi Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia. Karena itu, perlu keseriusan dalam mengurangi pasokan sampah tersebut. Upaya mengurangi sampah plastik di laut perlu didukung dengan penelitian komprehensif.
Penelitian ini harus dilakukan secara berkala, minimal setahun sekali, agar dapat diketahui setiap perkembangan yang ada.
Menjaga kualitas kesehatan di laut, bukan hanya terkait dengan biota saja, melainkan juga dampak bawaan bagi manusia yang banyak mengonsumsi beragam spesies hewan-hewan laut. (KOMPAS)