JAKARTA – Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) berupaya membentuk masyarakat lebih rasional dengan menggenjot publikasi riset. Hal ini tak lepas dari kebiasaan warga mempercayai hal mistis.
“Selama ini, masyarakat kita cenderung emosional cenderung mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan mistis, seperti kita tahu beberapa waktu lalu ada penggandaan uang oleh Dimas Kanjeng, kemudian juga Ponari yang katanya bisa ‘mengobati’ orang,” ujar Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti (SDID) Kemristekdikti Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Selasa 15 Agustus 2017.
Akhir-akhir ini bahkan beredar berbagai informasi yang belum tentu benar seperti bahaya imunisasi. Hal itu pun telanjur menyebar dan dipercayai masyarakat.
Ghufron menekankan, ilmuwan, akademisi, hingga media massa perlu memublikasikan hasil riset kepada masyarakat. Komunikasi serta wacana terkait riset dan inovasi perlu dibangun.
Caranya, kata dia, dengan menerapkan komunikasi sains antara peneliti ke peneliti maupun peneliti ke bukan peneliti. Butuh peran lebih dari ilmuwan dan media massa untuk membumikan hasil riset kepada masyarakat.
“Publikasi ilmiah adalah salah satu cara menyebarkan hasil riset,” kata Ghufron. Dia menyebutkan, publikasi internasional Indonesia terindeks Scopus sudah menyalip Thailand dengan 9.501 publikasi per 3 Agustus 2017.
Sebaliknya, dalam hal inovasi Indonesia masih kalah dengan sejumlah negara di Asia Tenggara. Berdasarkan Global Innovation Index 2017, Indonesia berada di peringkat ke-87, sedangkan Thailand diperingkat ke-51, dan Singapura meraih peringkat ketujuh.
Ghufron menyebut, setidaknya ada dua kelemahan ilmuwan dalam komunikasi sains. Pertama terkait bahasa, dan berikutnya adalah metodologi. Di sisi lain, perguruan tinggi belum sepenuhnya menjadi agen yang membangun kultur meneliti, serta mendidik masyarakat berpikir logis dan rasional.
“Indonesia ini sumber daya manusianya tersedia. Untuk itu, harus ada revolusi mental, di mana membangun publik berpikir logis berdasarkan pada sains dan teknologi. Jika potensi sumber daya manusia ini diasah, maka Indonesia akan menjadi negara yang kaya. Pendapatan yang awalnya di kelas menengah bisa menjadi pendapatan tinggi,” jelas dia.
Peran komunikasi sains diharapkan mampu mentransformasikan Indonesia dari ekonomi berbasis sumber daya alam (SDA) menjadi ekonomi berbasis sains teknologi. Di samping itu, jelas Ghufron, hal ini dapat mendidik masyarakat agar tidak mudah tertipu atau percaya dengan hoaks, apalagi hal-hal yang tidak rasional. (IFR/Media Indonesia)