News

Merancang Kurikulum Vokasi Formula Baru

JAKARTA – Kemenristekdikti tengah merancang formulasi kurikulum baru demi meningkatkan kualitas SDM. Strateginya, sesi praktek akan mendapatkan porsi lebih besar, terutama dalam pendidikan vokasi.

Seperti diketahui, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) telah memiliki Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) yang memandu peneliti dan dosen melakukan beragam riset dan pengembangan. Harapannya agar bisa menghasilkan inovasi yang bermutu dan layak digunakan dalam dunia industri. Namun program-program yang dijalankan ternyata juga perlu didukung dengan penguatan dunia pendidikan.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan riset-riset yang sudah dilaksanakan dan menghasilkan inovasi semestinya bisa menjawab kebutuhan industri. Namun ia mendapati dari sekitar 701 riset yang telah dilakukan dan menjadi inovasi ternyata hanya sedikit yang berhasil terlibat ke ranah industri. “Dengan demikian, Kemenristekdikti wajib menggandeng riset-riset yang ada supaya bisa (berkembang) menjadi industri,” katanya.

“Saat ini telah dibentuk Direktorat Jenderal Penguatan Inovasi yang bertugas menciptakan forum Inventor, Innovator and Investor Collaboration,” ucap Nasir. Nantinya, diharapkan terjadi komunikasi dan sinergi yang optimal di antara pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan inovasi. Selain itu, ia menyampaikan, pendidikan berbasis vokasi sangat dibutuhkan demi menunjang kualitas SDM. Sebuah teori mengatakan pendidikan vokasi tidak sebatas menghasilkan pribadi-pribadi yang siap bekerja, tapi juga menciptakan solusi-solusi teknis dalam pekerjaan mereka.

Dikatakan Nasir, angka lembaga pendidikan vokasi di Indonesia masih sangat rendah. Dari total sekitar 4.400 lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, yang berkonsep akademi dan politeknik hanya 1.020 lembaga, di mana sebagian besar berupa Universitas. “Padahal, jika ingin meningkatkan pergerakan ekonomi negara, dibutuhkan minimal 60 persen lembaga vokasi dari total lembaga pendidikan tinggi yang ada,” tuturnya. Terlebih, ia menjelaskan, pendidikan vokasi yang ada pada akademi dan politeknik itu juga ternyata belum sesuai dengan kebutuhan industri.

Revitalisasi pendidikan vokasi lantas digagas Kemenristekdikti, baik dari sisi pengajar maupun kurikulum. Secara umum, saat ini para dosen di lembaga pendidikan vokasi berasal dari dunia akademik, yang fokus sebatas pada pendidikan teori. Sehingga, menurut Nasir, peningkatan kuantitas pengajar yang lebih memahami industri juga sangat diperlukan. “Jadi di masa mendatang akan dikolaborasikan dengan para pengajar yang berasal dari dunia industri,” katanya.

Dengan demikian, sistem pengajaran praktik dapat dimaksimalkan. “Porsinya nanti 30 persen teori, 70 persen praktik,” kata Nasir. Dengan peningkatan jumlah dosen dari dunia industri, strategi ini diharapkan bisa menghasilkan lulusan-lulusan yang siap bekerja. Lebih lanjut, dia memaparkan, dari enam semester waktu pendidikan di jenjang akademi/politeknik, selama tiga semester akan digunakan untuk pengajaran teori dan praktik di laboratorium, dua semester terlibat di industri, dan satu semester untuk penyusunan laporan kerja.

Benchmark sistem pengajaran baru ini, dikatakan Nasir, mengacu pada sistem pendidikan yang dianut Jerman, Swiss, dan Taiwan. Adapun revolusi kurikulum ini sudah dibahas dengan Dirjen Kelembagaan Iptekdikti, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan, dan Dirjen Sumber Daya Iptekdikti. Sedangkan regulasi terkait diharapkan selesai pada akhir 2016, sehingga bisa diterapkan mulai awal tahun depan. “Harapan kami, lulusan-lulusan yang dihasilkan nanti merupakan yang siap bekerja, bukan yang siap dilatih seperti yang terjadi sekarang,” tuturnya.

Demi mengakselerasi keterlibatan masyarakat dalam berinovasi, Kemenristekdikti kian memaksimalkan peran STP (Science Techno Park) di daerah-daerah. “Melalui STP, hasil inovasi masyarakat bisa di-scale up. Artinya, melatih inovasi sebelum menjadi industri,” kata Nasir. Terkait STP, Kemenristekdikti saat ini dikabarkan juga tengah mengembangkan Kota Tangerang Selatan (Tangsel) sebagai National Science & Technology Park. Sehingga pusat STP akan berada di kota ini.

Di samping itu, Nasir merespons positif Global Innovation Forum (GIF) yang akan diselenggarakan Kota Tangsel pada 20-23 September 2016. “Saya berharap, melalui GIF, pertumbuhan ekonomi di Tangsel akan meningkat dalam lima tahun ke depan,” imbuhnya. “Tangsel bisa semakin maju, berbasis teknologi.” (tempo)

Join The Discussion