Dikutip dari tempo.co, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro ingin melanjutkan kembali program beasiswa Research and Innovation in Science and Technology Project (Riset-Pro) untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Program tersebut akan berakhir pada Desember 2020.
“Tentu meskipun di sini saya baru, tapi setelah di-update mengenai program ini, ini adalah sejalan dengan apa yang kita konsepkan di Bappenas, yaitu pengembangan SDM. Tentunya terkait dengan penguasaan inovasi dan teknologi,” ujar Bambang di Acara Simposium Riset-Pro di Jakarta, Selasa, 3 Desember 2019.
Riset-Pro merupakan program yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam pembangunan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Kegiatan Riset-Pro lebih spesifik menciptakan lingkungan kondusif bagi penelitian dan pengembangan di bidang Iptek, memperkuat kinerja insentif, dan meningkatkan kapasitas SDM di Kelembagaan Iptek.
Proyek ini merupakan inisiatif pemerintah Indonesia dengan dukungan Bank Dunia melalui Loan No. 8245-ID. Program tersebut dimulai sejak 2013. “Iya (akan dilanjutkan), Riset-Pro ini salah satu aspek dari ekosistem riset yang namanya SDM peneliti, jadi apapun penelitian yang kita lakukan pasti harus sentralnya pada SDM,” kata Bambang.
Dalam Riset-Pro ada dua program sebagai fokusnya, yaitu beasiswa program gelar yang tersedia bagi SDM di Kelembagaan Iptek yang memiliki motivasi tinggi melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister dan Doktor di berbagai perguruan tinggi terbaik di luar negeri, dan program nongelar, melakukan pelatihan dalam rangka meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di Kelembagaan Iptek.
Meskipun SDM bisa diambil dari perguruan tinggi, tapi kata dia, yang dari perguruan tinggi selain melakukan penelitian juga memiliki kewajiban lain. Sehingga, menurut Bambang, Riset-Pro perlu dilanjutkan, karena beasiswa ini secara khusus bisa menambah dan meningkatkan kualitas peneliti di Indonesia.
“Memang secara jumlah (peneliti) masih kurang dan secara kualitas masih perlu perbaikan. Tentunya beasiswa ini kita butuhkan karena sebagian besar peserta kan ke luar negeri,” tutur Bambang. “Dan di luar negeri itu selain mendapatkan ilmunya, juga teknologi paling mutakhir.”
Namun, Bambang menambahkan, yang sangat dia prioritaskan adalah untuk mendapatkan riset environment-nya yang memang sudah terbangun di negara-negara maju dan universitas-universitas yang rankingnya termasuk tinggi di dunia. “Nah inilah yang kita ingin adopsi dan kita ingin para alumnusnya bisa menciptakan lingkungan riset sebagai bagian dari ekosistem tadi,” kata Bambang.
Sementara Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Ali Ghufron Mukti menjelaskan bahwa sejak tahun 2013 hingga sekarang dana pinjaman dari Bank Dunia untuk program Riset-Pro tersebut tersisa US$ 9 juta atau setara dengan Rp 127 miliar.
“Awalnya itu dari triliun rupiah, tapi namanya triliun kan banyak. Proyek ini mulai sejak dulu 2013 tapi saat itu saya tidak tahu bagaimana pengelolaannya yang jelas itu tidak terserap cukup baik, ya maksimum hanya 33 persen,” ujar Ghufron.
Program Riset-Pro sebelumnya akan dihilangkan karena dianggap tidak berjalan lancar. Namun, kata Ghufron, setelah dirinya masuk terlibat, berjalan lebih baik bahkan terserap hingga 85 persen. Sejak awal dimulai, Risset-Pro sudah memberikan beasiswa terhadap sekitar 462 untuk program gelar dan lebih dari 1.500 orang program nongelar.
“Mereka (alumni) semua mendapatkan kesaksian manfaatnya yang luar biasa, jadi ini tidak hanya untuk individunya, tapi untuk institusi berkembang, ya pusat-pusat teknologi kita LPNK-nya, artinya bagi bangsa dan negara memberikan dampak yang luar biasa,” kata Ghufron.