News

Mengenal Stasiun Penelitian Soraya di Aceh

JAKARTA – Soraya adalah nama Stasiun Penelitian yang berada di Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh. Tepatnya, di hutan yang dulunya merupakan bekas hak pengusahaan hutan (HPH) PT. ASDAL dan PT. HARGAS, perusahaan yang beroperasi sekitar 1970-an.

Dua perusahaan tersebut tertarik mengusai hutan ini, hingga berakhir izinnya, karena berbagai jenis kayu kualitas tinggi yang ada. Seperti, meranti, damar, gaharu, kapur, dan jenis lainnya.

Rudi Putra, Manager Konservasi Forum Konservasi Leuser (FKL) menjelaskan, stasiun ini pertama kali dibangun oleh Leuser Development Program (LDP) pada 1994. Tujuannya, memantau pertumbuhan hutan yang telah ditebang oleh perusahaan itu.

“Dulu, hutannya bagus dan terdapat satwa liar dilindungi, seperti orangutan, gajah, harimau, badak sumatera, hingga kedih (Presbytis thomasi),” ujarnya, akhir pekan lalu.

Pada 2001, konflik bersenjata yang memanas di Aceh, membuat kegiatan penelitian terhenti. Stasiun Penelitian Soraya dibakar oleh orang tidak dikenal. Akibatnya, karena tiada pengawasan, perburuan dan pembalakan liar terjadi. “Masyarakat lokal tidak merusak, mereka menganggap hutan di sekitar stasiun riset merupakan kawasan Leuser atau hutan Leuser,” ujar Rudi.

Rudi menambahkan, karena terlalu lama tidak ada aktivitas, pada 2014, FKL bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh membangun kembali stasiun tersebut. Luas wilayah kelola yang disepakati sekitar enam ribu hektare. “Tujuannya sederhana, adanya aktivitas di stasiun membuat pembalak maupun pemburu tidak akan berani melakukan kegiatan terlarang tersebut,” ujarnya.

Berada di dataran rendah, 75 – 350 meter di atas permukaan laut, pertumbuhan pepohonan di sini cukup cepat. Di hutan yang masuk Kawasan Ekosistem Leuser itu, telah tumbuh  kembali berbagai jenis kayu besar dengan diameter lebih satu meter. Jenis satwa yang dilindungi maupun tidak, sudah terlihat kembali. Sejumlah peneliti pun mulai datang.

“Kita membuka kesempatan pada siapa saja untuk melakukan penelitian di Soraya. Kita juga telah menempatkan tim berpengalaman yang bisa membantu peneliti. Bukan hanya untuk penelitian, kita juga ingin Soraya digunakan sebagai pelatihan konservasi atau kegiatan wisata terbatas lainnya,” papar Rudi.

Perjalanan 

Pada 2 – 6 Februari 2017, Mongabay Indonesia berkesempatan mengunjungi stasiun riset ini. Jaraknya, sekitar 30 kilometer dari jalan negara yang menghubungkan pantai barat selatan Aceh dengan Sumatera Utara.

Untuk mencapai Soraya, perjalanan dimulai dengan menggunakan perahu motor dari Gelombang, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulusalam. Sekitar dua jam, perahu motor ini akan melawan arus Sungai Alas, salah satu sungai terpanjang di Aceh yang berhulu di Taman Nasional Gunung Leuser, di Kabupaten Gayo Lues, dan bermuara ke Samudera Hindia di Kabupaten Aceh Singkil.

Tanda-tanda stasiun telah dekat adalah ketika perahu memasuki anak sungai, di sebelah kiri, yang air dan hutannya lebat. Gemercik air nyaring terdengar. Sampai di sini, perjalanan dilanjutkan berjalan kaki sekitar 15 menit, menyeberangi anak sungai yang dipenuhi batu. Bangunan kayu berukuran 10×12 meter yang digunakan sebagai stasiun riset itu lah tujuan akhir perjalanan.

“Awalnya, bangunan riset Soraya lebih besar dari sekarang. Bangunan lama hangus terbakar, yang tersisa hanya tiang beton dan bekas bak penampungan air,” sebut Marlan, staf Stasiun Penelitian Soraya.

Marlan telah bekerja sebelum tempat riset tersebut ditutup akibat konflik bersenjata. Saat ini, ia bersama staf lain sedang membersihkan jalur yang telah ditutupi semak. “Jalur-jalur yang kami bersihkan adalah jalur lama. Dilakukan agar para peneliti dan wisatawan mudah melaluinya. Mahasiswa S1 hingga S3, lokal maupun asing, ada yang menyelesaikan penelitiannya disini,” ungkap lelaki warga Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara ini.

Muhammad Isa, Manager Stasiun Riset Soraya dan Katembe, Kabupetan Aceh Tenggara menjelaskan, staf Soraya saat ini sedang melakukan penelitian tumbuhan yang ada di sekitar stasiun. Mereka juga sedang memasang kamera jebak.

“Kami menunggu peneliti lokal maupun asing untuk riset di sini. Banyak hal yang biasa disibak, mulai ikan, tumbuhan, hingga satwa dilindungi,” ungkapnya. (IFR/MongabayIndonesia)

Join The Discussion