JAKARTA- Usai dilantik Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pimpin apel perdana di lingkungan Kemendagri, Kamis (24/10). Dalam sambutannya Tito menyampaikan dua hal yang menjadi prioritas pekerjaannya selama dua bulan mendatang, dari stabilitas keamanan sampai penyerapan anggaran.
Tito menjelaskan, pemerintahan baru kerap menimbulkan gejolak baik pro maupun kontra. Sebagai mantan Kapolri, dirinya memahami berbagai gejolak tersebut. Salah satunya, adalah dampak dari gelaran pemilu yang belum lama ini berlangsung. Meski relatif kecil, gejolak itu mesti diselesaikan. “Ekor dari Pemilu 2019, Pilpres dan parlemen empat tingkatan, saya kira hampir semuanya tuntas meski masih pada ekornya, saya paham ada beberapa yang belum selesai,” katanya
Sebagai pembina politik pemerintah daerah, kata Tito, Kemendagri akan berusaha menjaga stabilitas politik yang berkembang di masyarakat. Sebab, guncangan politik akan berdampak pada stabilitas keamanan dalam negeri. Konflik politik, terutama yang berasal dari perebutan kekuasaan baik di tingkat pusat, daerah, sampai desa dapat menimbulkan polarisasi. Kondisi itu bakal merembet pada perpecahan sebagai potensi konflik. “Di sinilah kita mulai menempatkan format sebagai pembina atau ujung tombak pemerintahan, mengharmonisasikan antara pusat dan daerah,” katanya.
Tanpa situasi yang aman, lanjut Tito, pembangunan yang sudah dicanangkan pemerintah tidak akan berjalan. Hal itu menjadi dua sisi yang tidak dapat dilepaskan. “Keamanan yang tidak baik, tidak akan terjadi pembangunan. Pembangunan yang tidak baik, itu akan berdampak pada gangguan keaman,” katanya.
Selain itu, persoalan penyerapan anggaran juga akan menjadi fokus Tito, mengingat saat ini memasuki akhir tahun anggaran. Dirinya akan meminta Dirjen terkait untuk menyisir penyerapan anggaran di sejumlah daerah. Langkah itu untuk mengetahui daerah mana saja yang tingkat penyerapannya bagus, maupun sebaliknya. Bagi daerah yang penyerapannya belum maksimal, ia mengatakan masih ada waktu untuk didorong agar lebih baik. Namun, penggunaan itu tidak berarti untuk dihambur-hamburkan. “Tetapi kalau diserap hasilnya nggak jelas, hati-hati berhadapan dengan hukum,” katanya.
Meski berlaku otonomi daerah, menurutnya Kemendagri memiliki tugas pokok mengevaluasi jalannya pemerintahan daerah. Namun, dirinya tidak akan ikut campur terlalu dalam. Ia mempersilakan daerah berinovasi, tetapi juga harus dilakukan evaluasi. Tito juga menginginkan adanya iklim kompetitif antarkepala daerah dalam mengeksekusi anggaran dengan hasil maksimal.
Sementara itu, untuk internal Kemendagri, Tito mempersilakan kepada komponen Kemendagri menyelesaikan pekerjaan yang sedang dijalankan. Di samping itu, dirinya tetap berusaha mengenal untuk membangun hubungan formal, maupun personal di lingkungan Kemendagri. “Hubungan personal bisa menembus perbedaan-perbedaan yang formal,” katanya.
Tito juga mengharapkan adanya perubahan budaya yang menghambat pelayanan publik. Perubahan itu mengacu pada reformasi birokrasi yang melayani. Kebudayaan itu tidak hanya di lingkup Kemendagri, tetapi juga di pemerintah daerah. “Bagaimana merubah mindset jangan lagi menjadi penguasa jadilah pelayan,” katanya.