News

Mencari model pendanaan riset yang lebih baik bagi Indonesia: Belajar dari Singapura

Dikutip dari theconversation.com – Baru-baru ini pemerintah Indonesia mengumumkan upaya-upaya untuk memperbaiki sistem pendanaan riset di Indonesia.

Beberapa di antaranya adalah pengucuran “Dana Abadi Riset” dengan modal awal Rp 990 miliar, pemberian keringanan pajak 300% untuk perusahaan yang melakukan investasi dalam riset dan pengembangan, hingga rencana pembentukan sebuah “Badan Riset Nasional” untuk mengkoordinir pendanaan riset di Indonesia.

Akademisi memperingatkan bahwa tanpa transparansi, akuntabilitas, dan kompetisi yang sehat, upaya-upaya tersebut akan berakhir sia-sia.

Pada tahun 2019, Indonesia menganggarkan Rp 35,7 triliun atau hanya sekitar 0,24% dari GDP untuk riset. Dana ini tersebar di 45 kementerian dan lembaga. Selain itu, hanya 43,7% dari dana ini yang digunakan murni untuk riset, sementara lainnya untuk membiayai operasional.

Dalam diskusi bertema “Mencari Model Pengelolaan Dana dan Pengorganisasian Riset di Indonesia” akhir bulan lalu di Jakarta, akademisi mengatakan Indonesia bisa belajar dari Singapura, yang sering dianggap sebagai negara dengan riset terbaik di Asia, bagaimana cara mengelola pendanaan riset.

Singapura sendiri mengkoordinir pendanaan risetnya melalui suatu badan bernama National Research Foundation (NRF).

Memperbaiki minimnya koordinasi

Pada acara diskusi yang diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI), Katadata, dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut, Yohanes Eko Riyanto, profesor di Nanyang Technological University (NTU) mengatakan bahwa, serupa dengan Indonesia, ekosistem riset di Singapura juga melibatkan berbagai kementerian dan lembaga pendanaan.

Meskipun demikian, pendanaan riset di Singapura terkoordinasi dengan sangat baik, dikomandoi oleh National Research Foundation (NRF).

Lembaga yang berada langsung di bawah kantor eksekutif Perdana Menteri ini menentukan prioritas riset nasional dan mengkoordinir berbagai lembaga pendanaan untuk memastikan tidak ada yang tumpang tindih.

“Rancangan lanskap riset di sini (Singapura) sangat jelas. Tidak ada banyak sekali lembaga yang bekerja sendiri-sendiri seperti di Indonesia,” katanya.

Sistem tersebut bekerja dengan baik. Singapura sangat produktif dalam menghasilkan riset dan inovasi yang berkualitas. Negara tersebut ada di peringkat ke-8 dalam Indeks Inovasi Global tahun 2019, mengalahkan raksasa Eropa, Jerman (peringkat ke-9).

Sementara itu, Indonesia menduduki peringkat ke-85, kalah dari Kenya (peringkat ke-77) dan Jamaica (peringkat ke-81).

Prospek berdirinya “Badan Riset Nasional”

Rencana pemerintah Indonesia untuk mendirikan Badan Riset Nasional, yang dimandatkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan pendanaan riset yang tidak efektif.

Riyanto mengatakan bahwa lembaga tersebut dapat menangani minimnya koordinasi pendanaan pada ekosistem riset Indonesia.

Namun, beliau menekankan bahwa Badan Riset Nasional hanya bisa bekerja dengan baik apabila dirancang sebagai lembaga independen yang menawarkan pendanaan secara transparan dan kompetitif.

“Di Singapura, proposal riset dievaluasi berdasarkan kriteria yang ketat seperti indikator keberhasilan proyek dan kontribusi untuk sains. NRF (National Research Foundation) kemudian mengundang para akademisi terbaik dunia untuk duduk di komite evaluasi. Artinya, semua proposal diseleksi dengan standar riset dunia,” katanya.

Peran dari Badan Riset Nasional masih diperdebatkan. Beberapa akademisi telah menyampaikan kekhawatiran bahwa lembaga tersebut berpotensi memiliki kekuatan dan pengaruh politik yang berlebihan.

Akademisi lain khawatir bahwa lembaga riset ini dapat berlaku bias dan menyalahgunakan kekuasaaannya untuk hanya mendanai riset yang disetujui oleh pemerintah.

Teguh Dartanto, Kepala Departemen Ekonomi di Universitas Indonesia, mengatakan bahwa permasalahan riset di Indonesia sebagian besar terkait prosedur administratif yang rumit dan masa pendanaan riset yang singkat.

Menurutnya pendirian lembaga ini dapat membuat birokrasi pengelolaan dana riset jadi lebih efisien.

Menghubungkan peneliti dengan industri

Indonesia juga berencana untuk memberikan keringanan pajak hingga 300% kepada perusahaan yang melakukan investasi terkait riset dan pengembangan. Riyanto mengatakan bahwa Indonesia dapat belajar dari Singapura dalam melibatkan sektor swasta agar mereka bersedia untuk semakin menambah dana untuk riset.

Pada tahun 2016, National Research Foundation mengumumkan bahwa pemerintah Singapura akan menyediakan S$ 19 miliar (hampir Rp 200 triliun) untuk dana penelitian hingga 2020 sebagai bagian dari rencana riset lima-tahunan mereka.

Meskipun demikian, sumbangan dana terbesar berasal dari sektor swasta. Dari total 2,2% PDB Singapura yang disediakan untuk penelitian, sektor swasta menyumbang lebih dari setengahnya (sekitar 1,2% dari PDB).

Riyanto juga menekankan tentang pentingnya peran Agency for Science, Technology, and Research (A-STAR).

A-STAR secara struktural adalah bagian dari Kementerian Perdagangan Singapura, tetapi juga merupakan salah satu lembaga pendanaan riset terpenting yang berada di bawah koordinasi National Research Foundation. Lembaga ini punya peran unik untuk memimpin riset yang berorientasi pasar, dan menjembatani antara dunia akademik dengan sektor swasta.

Lembaga ini juga bekerjasama dengan pemerintah dan industri untuk menyediakan dana yang sangat besar untuk riset mutakhir, mulai dari bidang kesehatan hingga manufaktur.

Pada periode 2011-2015, A-STAR sendiri terlibat dalam 8.965 proyek swasta, sehingga menghasilkan pengeluaran riset lebih dari US$ 1,15 miliar (sekitar Rp 16 triliun).

Berbagai dana hibah juga ditawarkan untuk lembaga riset dan universitas, seperti NTU, secara kompetitif.

“Perusahaan-perusahaan besar seperti misalnya Rolls-Royce, BMW, dan Alibaba, bekerja sama dengan NTU untuk mendirikan laboratorium perusahaan. Apabila mereka menginvestasikan dana riset pada universitas, pemerintah melalui NRF juga akan menyuntikkan tambahan dana melalui program Laboratorium Perusahaan di Universitas untuk semakin memperkuat kerjasama tersebut,” Riyanto menjelaskan.

Pada tahun 2017, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (RISTEK DIKTI) menyatakan bahwa sektor swasta baru menginvestasikan sekitar Rp 6 triliun untuk riset. Jumlah ini setara dengan hanya 0,04% PDB Indonesia.

Para akademisi mengatakan bahwa minimnya keterlibatan industri, atau mungkin tidak adanya lembaga yang mendorong keterlibatan swasta dalam riset, mengakibatkan Indonesia melewatkan kesempatan menciptakan lapangan kerja yang masif dan juga meningkatkan daya saing global.

Join The Discussion