Dikutip dari beritasatu.com – Agenda penelitian nasional idealnya digunakan sebagai arahan prioritas untuk mengalokasikan sumber daya pemerintah. Walaupun Indonesia telah membentuk rencana induk riset nasional (RIRN), hanya satu dari sepuluh fokus yang memperhatikan aspek Sosial Humaniora-Seni Budaya-Pendidikan. Dimana hubungan langsung di antara penelitian sosial dan pembuatan kebijakan yang mendukung kemajuan kebudayaan pun masih belum jelas.
Maka dari itu dibutuhkan kejelasan relasi yang efektif di antara peneliti sosial dan pembuat kebijakan untuk memastikan bahwa kemajuan kebudayaan yang berdasarkan bukti dapat dirasakan bahkan oleh mereka yang paling miskin dan paling terpinggirkan.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, mengemukakan beberapa faktor yang kini tengah menghambat pertukaran pengetahuan dan pengalaman di antara akademisi dan pembuat kebijakan dalam hal penggunaan bukti untuk memajukan kebudayaan.
Persoalannya dimulai dari kendala riset karena faktor keuangan sampai dengan sumber daya manusia (SDM).
Hilmar pun menjabarkan, merujuk pada UUD 1945 Pasal 32 ayat 1, dalam memajukan kebudayaan nasional diamanatkan agar daerah kabupaten kota harus diikutsertakan. Terutama dalam merumuskan dan mengidentidikasi 10 poin untuk menyusun pokok pikiran kebudayaan daerah (PPKD), yang dimiliki daerah masing-masing. Sehingga, mereka bisa mengajukan apa saja yang mereka ingin kelola dan lakukan.
Namun kini kendalanya, baru 320 kabupaten dan kota terlibat aktif dalam mengidentifikasi kekayaan kebudayaan. Masih terdapat sekitar 190-an kabupaten serta kota yang belum menyerahkan PPKD daerahnya.
“Persoalan pertama, untuk membuat kebijakan mengidentifikasi kebudayaan daerah, tidak ada alokasi anggaran atau usaha yang bisa mengisi pengetahuan sebagai basisnya. Sehingga, tidak sedikit daerah yang mau mengerjakan PPKD karena daerah tidak memiliki dana riset,” terangnya dalam acara diskusi bersama Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Setelah persoalan dana, terbatasnya SDM, menurut Hilmar, juga menjadi persoalan yang kompleks, terlebih dalam wilayah kepulauan. Hingga kini tidak ada SDM dan tenaga yang bisa bertugas mengidentifikasi, kebudayaan apa saja yang ada di kampung tersebut.
Potensi Daerah
Dalam kesempatan itu, Hilmar mengapresiasi pemda dan juga lembaga riset daerah yang serius melakukan inventerisasi PPKD untuk tujuan mengembangkan potensi daerah. Seperti, keseriusan Kota Bandung yang waktu itu dipimpin Ridwan Kamil menyerahkan dokumen PPKD setebal 1.000 halaman lebih. Ini menunjukkan Pemkot-nya serius
“Pencatatan itu sulit. Ini memang tugas yang saya kira tidak mudah. Apalagi melihat konsentrasi produksi ilmu pengetahuan adanya di kota besar. Ilmu sosial mengecil, humaniora juga. Akibatnya lack of knowledge menjadi semakin terlihat. Jumlah orang yang terdidik di bidang humaniora semakin sedikit. Itu salah satu sebab masih banyak PPKD belum selesai ditulis,” terangnya.
Bahkan tidak hanya di daerah terpencil, persoalan riset juga dialami Kemendikbud yang juga memiliki kekurangan dalam hal SDM.
“Sepanjang 3,5 tahun saya di Kemendikbud, saya belum ketemu riset yang bisa menjelaskan ke saya soal efektifitas program-program yang selama ini dibangun. Dalam proses pengambilan keputusan, sering kali orang yang bertanggung jawab dalam bidang itu bersandar dalam pengetahuan yang tidak berbasis angka,” ungkapnya.