News

Melihat Demonstrasi ala Peneliti dan Profesor Riset Indonesia

Dikutip dari kompas.com – Fenomena langka terjadi di Indonesia pada Jumat (8/2/2019). Peneliti dan profesor riset demonstrasi. Banyak dari mereka yang sepuh, seperti mantan kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lukman Hakim dan Taufik Abdullah. Beberapa merupakan figur yang dikenal publik, seperti Dewi Fortuna Anwar dan Syamsudin Harris.

Beraksi damai di Gedung Sasana Widya Sarwono LIPI Gator Subroto, mereka bukan menggelar March for Science untuk menentang kebijakan negara yang mengancam ilmu pengetahuan seperti di Amerika Serikat. Mereka justru sedang melawan pemimpinnya sendiri. Ratusan peneliti itu berdemonstrasi menyusul kebijakan reorganisasi Kepala LIPI Laksana Tri Handoko yang dianggap otoriter.

“LIPI ini mata air bangsa. Jernih. Tetapi mata air itu sekarang menjadi keruh. LIPI selalu di garda depan memperjuangkan bangsa. Pengakhiran dwifungsi ABRI. Reformasi. Itu sumbernya di sini. Baru sekali ini kita harus berjuang melawan diri sendiri,” teriak Dewi Fortuna yang merupakan peneliti politik pada bagian awal orasi.

Teriakan Dewi Fortuna disambut meriah oleh para peneliti yang protes. “Betul!” “Setuju!” Kerap kali, teriakan dikuti dengan keluhan kepeminpinan Handoko. Selama demonstrasi, sejumlah peneliti duduk di depan para senior yang berorasi. Sebagian lagi berdiri di belakang. Ada pula yang bertanggung jawab pada livestreaming aksi. Sementara beberapa lainnya mengabadikan aksi pertama dalam sejarah LIPI itu.

Goib Wiranto dari Pusat Penelitian Elektronika dan Komunikasi yang pernah bekerja berorasi setelah Dewi Fortuna, membuka luka. “Kita yang di IPT (Ilmu Pengetahuan Teknik) sudah lama menderita. Tunjangan kinerja dipotong 20 persen itu sudah biasa. Bukan berarti kita terima, tetapi itu karena arogansi kedeputian IPT,” ungkap Goib yang pernah bekerja bersama Handoko di puslitnya.

Sejumlah tokoh LIPI berorasi hingga sekitar pukul 15.00 WIB. Orasi bubar setelah Handoko berniat menemui para peneliti yang proses. Dialog berlangsung hingga lebih dari pukul 17.00 WIB. Banyak akrobat kata-kata. Banyak nama tokoh, mulai dari sesepuh LIPI hingga Benjamin Franklin dan bahkan Nabi Muhammad SAW dibawa dalam retorika kala berpendapat.

Handoko membuka dialog dengan menerangkan dasar aturan reorganisasi dan mengonfirmasi beberapa hal yang dikhawatirkan, seperti pemecatan pegawai. Ia menegaskan, jika tidak ada reorganisasi, maka LIPI tidak bisa menambah pegawai di tiap satuan kerja dan bahwa LIPI masih perlu perbaikan manajemen. “Selama ini tunjangan kinerja masih diberikan berdasarkan presensi, bukan kinerja,” katanya.

Seorang peneliti mengatakan, “Sebagai Kepala, penjelasan Bapak terlalu teknis. Saya tidak perlu itu penjelasan aturan atau apa pun. Seharusnya saya tidak mendengar penjelasan teknis dari Kepala LIPI, tapi saya applaus kepala bapak yang begitu memahami detail. Mantan Kepala LIPI Lukman Hakim mengatakan, “Kita akan pasang badan. Kalau perlu kita tentang aturan pemerintah kalau memang merusak marwah LIPI.”

Beberapa lama setelah dialog, tuntutan melebar dari kaji ulang reorganisasi menjadi meminta kepala LIPI mundur. Sejarawan LIPI Asvi Anwar Adam mengatakan, “Saya dulu pernah di Jepang 6 bulan sebagai visiting fellows. Pak Handoko S1 sampai S3 di Jepang. Pasti tahu budaya Jepang. Di sana ada budaya mundur. Pimpinan yang merasa tidak kompeten sebaiknya mundur. Malah kalau melakukan kesalahan, hara kiri.”

Dewi Fortuna mengatakan di awal kalimat bahwa kebijakan Handoko banyak yang bagus tetapi tidak melibatkan peneliti dalam pembuatan keputusannya. Ia menilai Handoko merupakan peneliti yang mumpuni dalam bidang fisika teoretis tetapi kurang dalam kemampuan manajerial sebagai pemimpin. “Lebih baik mundur untuk menang bersama-sama,” katanya.

Menjelang berakhirnya diskusi, peneliti serangga parasitoid Rosichon Ubaidillah memberikan 5 tuntutan. “Hari ini hari Jumat. Hari keramat. Saya harap ini awal bangkitnya LIPI. Kami ingin mndapatkan kepastian bahwa apa yang kami usulkan menjadi kenyataan,” ungkapnya sambil sesekali terisak, persis ketika dia dilantik sebagai profesor riset pada 21 Desember 2011 lalu.

Handoko sempat menolak 2 poin yang dituntut Rosichon dan peneliti lain, yaitu soal moratorium reorganisasi dan pengembalian struktur seperti semula. Namun Dewi Fortuna mendesak dengan mengatakan, “Presiden saja tanda tangan bisa diubah.” Handoko lantas menyetujui dengan catatan dua poin yang menjadi keberatannya akan didiskusikan dengan tim evaluasi rerganisasi.

Aksi damai dan dialog berlangsung selama 3 jam. Ada pertunjukan bagaimana seorang intelektual berpendapat dan bahkan meledek. Usai aksi, para peneliti bubar dengan rapi. Tidak ada botol air mineral tertinggal sebab memang aksi dan dialog berlangsung tanpa makan dan minum. Di lantai bawah gedung Sasana Widya Sarwono, hanya ada layar, proyektor, dan beberapa penjaga. Tidak ada sampah. (kompas.com)

Join The Discussion