JAKARTA – Pengelola JBP (Jurnal Bina Praja) menghadiri acara workshop pengelolaan jurnal yang diselenggarakan oleh KSI (Knowledge Sector Initiative) dan Tempo Institute pada Selasa (11/4) di Hotel DoubleTree, Cikini, Jakarta Pusat.
Acara yang dihadiri oleh beberapa mitra KSI lainnya seperti Lembaga Penelitian non Pemerintah itu membahas berbagi pengalaman pengelolaan jurnal. Seperti Jurnal Prisma dari LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Yayasan Jurnal Perempuan, dan Jurnal Studi Islamika dari PPIM UIN Jakarta (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri).
Sebelum ke pembahasan, KSI melalui tim peneliti yang dipimpin oleh Fajri Siregar memaparkan hasil penelitiannya mengenai “Policy Journal Diagnostic Study”. Fajri dan tim melakukan wawancara dengan sejumlah akademisi di Lembaga Penelitian.
Dari 61 responden, 70 persen berlatar belakang pendidikan Doktor, 26 persen Magister, dan 3 persen Sarjana. “Riset ini bertujuan untuk mengidentifikasi jurnal ataupun jurnal ilmiah yang memiliki tujuan untuk memengaruhi proses pembuatan kebijakan, mengkaji kualitas jurnal kebijakan yang ada, memahami tantangan yang dihadapi oleh para pengelola jurnal, serta mengidentifikasi tata cara perbaikan jurnal yang ada,” kata Fajri.
Pertama, ke-61 responden diminta rekomendasi diminta beberapa jurnal ternama yang menjadi rekomendasi para pelaku kebijakan. “Beberapa narasumber menyebutkan jurnal ternama seperti Jurnal Prisma, Jurnal Analisis CSIS, Jurnal Economics and Finance in Indonesia, dan Jurnal Perempuan. “Dari semua jurnal ternama itu, rata-rata mereka mengesampingkan soal akreditasi, yang mereka pentingkan adalah hasil penelitiannya bermanfaat bagi banyak masyarakat dan bisa menjadi landasan para pemangku kebijakan,” tandasnya.
Selain itu, dari hasil penelitian ini ditemukan, kebanyakan para penulis jurnal internasional tidak mau mengirimkan kembali naskahnya ke jurnal nasional. “Jadi ada beberapa indikator kenapa jurnal tertentu kebanjiran naskah atau bahkan kekurangan naskah. Pertama, 58 persen karena reputasi. Kedua, 50 persen karena referensinya apa saja. Ketiga, 35 persen siapa saja yang pernah menulis di situ. Keempat, 35 persen karena jurnal itu sudah elektronik, dan terakhir 13 persen karena faktor lain, misalnya karena pengelola jurnal adalah teman dekat, jadi diminta menulis di jurnalnya,” terangnya.
Dari hasil penelitian itu, Fajri menjelaskan beberapa temuan utama studi kasusnya. Yakni, kebanyakan jurnal ternama lebih banyak mengkaji tentang ilmu eksakta, dan ilmu humaniora lebih condong memengaruhi kebijakan. “Untuk itu perlu adanya kebijakan dari DIKTI di tingkat makro yang mengampu hubungan antara manajemen jurnal dengan mitra pembuat kebijakan. Di antara praktisi jurnal perlu ada pelibatan pembuat kebijakan dalam proses produksi sesuai konteks, karena jurnal ilmiah popular kebanyakan belum tentu disusun dengan tujuan sebagai landasan kebijakan,” ungkapnya dengan penuh harap. (IFR)