JAKARTA – Kondisi peneliti dan penelitian kita saat ini sungguh memprihatinkan. Jumlah anggaran terus mengecil, tetapi tuntutannya justru semakin besar. Barangkali masyarakat tidak pernah tahu bagaimana posisi peneliti saat ini. Secara ekonomi, tentu saja ada perbaikan karena ada tunjangan kinerja walaupun belum merata; hanya 60 persen yang dibayarkan negara dengan berbagai alasan.
Namun, di sisi lain, banyak regulasi yang justru secara administratif membatasi ruang gerak peneliti. Mulai dari sistem penilaian angka kredit yang semakin berat dan sering kali ada yang tidak masuk akal, sampai persyaratan kenaikan pangkat yang teramat berat.
Untuk menjadi ahli peneliti utama saja, saat ini harus memiliki pendidikan tingkat doktoral. Demikian juga untuk menjadi profesor riset yang diakui oleh LIPI, selain sudah doktor juga lembaga (tempat yang bersangkutan bernaung) harus menyiapkan dukungan anggaran yang cukup hanya untuk orasi ilmiah profesor sampai ratusan juta rupiah.
Banyak kejadian, peneliti yang sudah siap orasi, tetapi dana tidak tersedia sehingga ia gagal menjadi seorang profesor riset. Ironisnya, regulasi-regulasi tersebut dibuat oleh LIPI, satu-satunya lembaga pemegang scientific authority di Indonesia.
“LIPI yang seharusnya fokus pada pembuatan grand desain riset nasional dan produksi advanced knowledge system, tetapi faktanya justru terjebak reproduksi regulasi teknis-administratif yang justru membelenggu ruang gerak dan pengetahuan peneliti. Mengapa? Karena regulasi tersebut kebanyakan dibuat sangat otoritatif, jauh dari nilai demokrasi dan tanpa konsultasi yang cukup dengan para peneliti. LIPI justru terjebak pada kekuasaan administratif daripada memajukan peneliti dan dunia penelitian itu sendiri. Ingat bahwa kemajuan dunia penelitian dan pengetahuan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan peneliti yang cakap, tetapi juga terbangun dan terlembagakannya iklim demokrasi dalam tata kelola penelitian dan pengetahuan itu sendiri,” tutur Ismatul Hakim, Ketua Bidang Pemberdayaan Masyarakat Himpunan Peneliti Indonesia.
Strukturisasi dan labelisasi peneliti dan dunia penelitian melalui PP No 11/2017 justru dikhawatirkan akan menggembosi dunia riset yang mulai tumbuh dan berkembang seperti saat ini. Lahirnya PP No 11/2017 ini harus dimaknai bahwa kini saatnya bagi para peneliti untuk mengkritik sepak terjang LIPI yang nirkritik. “Langkah Himpunan Peneliti Indonesia untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung terkait PP ini patut diapresiasi, walau sebenarnya sudah agak terlambat. Kita tunggu saja hasilnya,” ungkapnya. (IFR/Dikutip dari Opini Harian Kompas, 23 Agustus 2017 oleh Ismatul Hakim)