News

Mahar Parpol Hingga 500 Milliar

JAKARTA – Maraknya pemberitaan terkait mahar Parpol (Parpol) terhadap kandidat Paslon (Pasangan Calon) Pilkada Serentak menggelitik banyak pihak untuk dikaji. Tidak adanya regulasi yang jelas terhadap sanksi para tersangka, baik itu kandidat paslon, pihak penerima, ataupun Parpol itu sendiri menjadikan ‘mahar’ sebagai budaya politik yang semakin mengakar.

Hal ini bukan hanya menjadikan yang berduit untuk berkuasa, tetapi menjadi bibit awal korupsi berkembang. “Tidak mungkin kalau hanya mengandalkan gaji dan tunjangan Kepala Daerah, mereka yang terpilih bisa balik modal, pasti harus ‘bermain’ di APBD supaya bisa balik modal,” terang Syamsuddin Haris, Ketua Peneliti LIPI dalam FGD (Focused Group Discussion) “Pilkada Sedot Dana ke Pusat: Dampaknya Terhadap Perekonomian Daerah” yang diselenggarakan Puslitbang Keuangan Daerah, Selasa, (13/02) di Aula BPP

Pada acara yang sama, hadir pula sejumlah narasumber ahli seperti Ubedillah Badrun (Dosen Univ. Negeri Jakarta), Donal Fariz (Indonesian Corruption Watch), dan Eko Listianto (Institute for Development of Economics & Finance) yang ikut berkomentar dan memberi masukan peneliti Pusat Keuda BPP dalam melakukan kajian terkait Dana Pilkada Dampaknya Terhadap Perekonomian Daerah.

Ubedillah mengatakan, mahar politik akan secara sistematik pada waktunya akan mendorong kepala daerah terpilih untuk melakukan tindak korupsi. “Menurut hasil penelitian Puspol Indonesia pada 2017, biaya mahar pilkada tingkat kota kisaran 5 sampai 30 milliar, di tingkat Kabupaten sebesar 10 sampai 50 milliar, dan di tingkat provinsi 100 hingga 500 milliar,” paparnya.

Dana sebesar itu menurutnya, didapati melebihi dari harta kas mereka hingga 51,4 persen. “Bahkan hasil kajian KPK terhadap responden tang notabennya adalah bekas calon kepala daerah, mereka mengeluarkan dana tersebut dari donator. Sebanyak 56,3 persen donator kampante mengharapkan balasan atau uangnya kembali dari calon kandidat terpilih, 75,8 persen responden mengatakan akan mengabulkan harapan donator berupa kemudahan perizinan usaha, pembagian jatah APBD dari calon Kepala Daerah terpilih,” terang Ubed.

Dengan mengatahui permasalahan dan sejumlah kasus tersebut, Kepala Puslitbang Keuangan Daerah, Horas Mauritz Panjaitan mengharapkan hasil diskusi ini menjadi bahan kajian BPP dalam menciptakan rekomendasi kebijakan yang lebih tegas terhadap sejumlah parpol yang nakal. “Kami tentu berharap Pilkada serentak dapat tercipta secara akuntabel, transparan, dan menciptakan pemimpin yang terintegritas,” harapnya. (IFR)

Join The Discussion