News

LSM Kritik Prosedur Baru Penerbitan Izin Penelitian

Jakarta – Pemerintah mengeluarkan peraturan baru mengenai penerbitan izin penelitian bagi kelompok masyarakat maupun perorangan. Aturan ini membuat proses perizinan untuk melakukan penelitian menjadi lebih ketat.

Sejumlah organisasi kemasyarakatan yang banyak melakukan penelitian di berbagai daerah mengecam aturan baru tersebut. Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, mengatakan aturan ini sangat subyektif.

Menurut dia, pemerintah bisa dengan semena-mena menolak menerbitkan izin hanya karena ada dugaan dampak negatif hasil penelitian. “Ukuran dampak negatif itu apa?” kata Wahyudi kepada Tempo pada Senin, 5 Februari 2018.

Menurut Wahyudi, pemerintah terkesan semakin menjauhkan diri dari dunia akademik. Padahal penelitian yang dihasilkan publik, termasuk organisasi kemasyarakatan, sangat penting untuk mengawasi kebijakan pemerintah yang berdampak buruk terhadap lingkungan, masyarakat kecil, maupun kelompok marginal lainnya.

Aturan baru itu ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian. Salah satunya mengatur mengenai pemerintah berhak mengkaji lebih dulu dampak negatif penelitian sebelum menerbitkan izin.

Bila verifikasi menemukan adanya potensi dampak negatif, izin akan ditolak. Di pasal lain, menteri, gubernur, bupati, maupun wali kota dapat tidak memperpanjang izin yang sudah habis masa berlakunya bila hasil penelitian sementara menimbulkan keresahan di masyarakat, disintegrasi bangsa atau keutuhan negara, serta melanggar norma dan adat istiadat.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Nasional Merah Johansyah berpendapat serupa. Ia mengatakan dampak negatif yang disebutkan dalam aturan itu bisa diterjemahkan secara luas. Penelitian isu sensitif seperti pada isu lingkungan, pertanahan, hingga kesehatan, seperti penderita HIV/AIDS, dapat saja diartikan akan memberi dampak negatif karena meresahkan. “Tidak jelas ini dampak negatif terhadap masyarakat atau justru korporasi,” kata Merah.

Prosedur baru izin penelitian ini menggantikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2011 tentang Pedoman Penerbitan Rekomendasi Penelitian. Dalam prosedur lama, peneliti tinggal mengirimkan surat permohonan penelitian ke bupati atau wali kota (bila penelitian di tingkat kabupaten maupun kota), gubernur (untuk skala provinsi), maupun menteri (bila penelitian berskala nasional atau lintas provinsi). Dengan prosedur baru, permohonan izin harus diajukan ke pusat pelayanan terpadu satu pintu untuk diperiksa oleh bagian Kesatuan Bangsa dan Politik.

Aturan lama sama sekali tidak menyebutkan tentang pemeriksaan terhadap potensi dampak negatif hasil penelitian. Meski demikian, peneliti dapat diberi sanksi berupa pencabutan rekomendasi bila menimbulkan keresahan di masyarakat atau disintegrasi bangsa atau keutuhan negara. (TEMPO.CO)

Join The Discussion