JAKARTA – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mendorong sejumlah riset agar menghasilkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat adat. Selama ini, posisi masyarakat adat terpinggirkan karena penguasaan lahan lebih banyak diberikan kepada investor.
Pakar antropologi maritim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dedi Adhuri, Senin (29/5), di Jakarta, menyatakan hal itu, menyusul posisi marjinal yang dialami masyarakat adat dalam perebutan lahan di sejumlah daerah.
Posisi marjinal masyarakat adat itu menyusul kesempatan penguasaan lahan lebih banyak diberikan kepada investor. Setelah rezim Orde Baru tumbang, banyak aturan berpihak kepada masyarakat adat. “Namun, ada tarik-menarik kencang antara birokrasi, masyarakat adat, komunitas lokal, dan investor,” ujarnya.
Sejumlah kelompok masyarakat adat yang difokuskan dalam risetnya ialah orang Bajo di bagian timur Indonesia, Orang Rimba di Jambi, dan orang Samin di Jawa Tengah. Masing-masing dengan karakteristik dan hak khusus mereka terkait dengan pengakuan atas lahan.
Akses layanan
Orang Rimba di Jambi, misalnya, memiliki hak jelajah diakui kekhususannya. Itu dilatarbelakangi tradisi melangun, praktik hidup berpindah-pindah dipicu kematian anggota keluarga. Itu belum diakomodasi pada konteks kehidupan bernegara. Misalnya, program pengelolaan hutan sulit diakses Orang Rimba karena tak punya kartu tanda penduduk berbasis lokalitas.
“Kami ketahanan sosial masyarakat adat. Tiga tahun ini kami lakukan, setelah kami perhatikan, lokalitas adalah faktor integritas kebudayaan,” ujarnya.
Dalam konteks itu, Baduy berstatus aman karena wilayah ulayat mereka diatur dalam peraturan daerah. Aspek pengelolaan tata ruang sama dengan praktik pada masyarakat modern berupa area inti, zona penyangga, dan area pengelolaan.
Adapun keberadaan orang Bajo, sebagai suku pengembara laut, lebih tak terlindungi. Area jelajah meliputi perairan Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia, membuat orang Bajo tak diakui sebagai warga negara mana pun. “Idealnya, di negara-negara di mana mereka menjelajah, mereka diberi identitas karena itu hak asasi manusia,” kata Dedi.
Hal itu mengakibatkan sejumlah kasus pengusiran orang Bajo. Pada 2010, ada 104 orang Bajo diiusir dari perairan Berau, Kalimantan Timur. Saat itu, mereka diberikan kartu tanda penduduk setelah ditampung pemerintah dan diadvokasi sejumlah lembaga. Pada 2016, kejadian serupa terjadi pada puluhan orang Bajo di perairan sama tanpa solusi pemberian KTP.
Peneliti Bidang Ekologi Manusia Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Ali Yansyah Abdurrahim, Selasa (30/5), menambahkan soal persebaran orang Bajo di Sulawesi Selatan. Salah satu lokasinya di Pulau Selayar, Kabupaten Kepulauan Selayar.
Adapun keberadaan orang Samin, yang lahir dari gerakan perlawanan terhadap konsep kewilayahan eksklusif, kepentingannya atas lahan mesti dilindungi.
“Dalam sistem kepercayaan mereka (orang Samin), pekerjaan paling ideal ialah pertanian,” kata Dedi. (IFR/Harian Kompas)