JAKARTA-Komite Nasional Management of Social Transformation (MOST) Indonesia yang berada di Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Organisasi Pendidikan, Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mendorong Indonesia untuk memiliki kebijakan sosial yang inklusif dan melibatkan hasil riset. Kebijakan itu dengan memerhitungkan kaum marjinal seperti difabel atau orang-orang berkebutuhan khusus lainnya untuk perlindungan sosial dan pengurangan risiko bencana.
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Sri Sunarti Purwaningsih mengatakan, pihaknya dan UNESCO berusaha mengkritisi kebijakan yang sudah ada sekarang, namun belum memerhitungkan kaum marjinal. “Nanti berlandaskan hasil riset akan dipadukan bagaimana ke depannya kami dapat memberi masukan agar kebijakan-kebijakan sosial dapat memerhitungkan mereka yang kurang beruntung, terutama untuk perlindungan sosial dan pengurangan risiko bencana,” ujarnya.
Programme Specialist for Social and Human Sciences UNESCO, Irakli Khodeli menuturkan, orang lanjut usia, anak-anak dan penyandang disabilitas adalah kelompok yang rentan terkena dampak bencana, sehingga mereka harus memperoleh perlindungan prioritas dari pemerintah. “Kami berharap jangan sampai terjadi kesenjangan di dalam penanganan bencana terhadap korban,” tuturnya.
UNESCO saat ini tengah mengembangkan dua kerangka kerja analitis untuk desain kebijakan inklusif. Indonesia mungkin memiliki kebijakan yang bagus dalam menghadapi kesenjangan di daerah seperti terkait dengan pendidikan ataupun pengurangan risiko bencana seperti area yang menjadi fokus sekarang. “Namun mungkin masih ada praktik yang senjang misalnya terhadap masyarakat dengan penyandang disabilitas,” kata Irakli.
Dirinya pun mendorong agar Indonesia memiliki kebijakan tersendiri bagi penyandang disabilitas atau kaum marjinal dalam pengurangan risiko bencana. Dengan begitu, terjadi pemerataan dan kesetaraan dalam aspek kebijakan dalam perlindungan sosial dan pengurangan risiko bencana.
Di sisi lain, Deny Hidayati, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menyoroti pula proses penanganan bencana di Indonesia. Dia melihat penanganan bencana masih dilakukan oleh sembilan lembaga dan kementerian terkait secara terpisah. “Upaya penanganan bencana ini sebaiknya disatukan dalam satu payung hukum dan koordinasi di bawah Presiden atau Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,” sarannya.
Kemudian, peneliti LIPI ini mengusulkan juga adanya integrasi tiga program perlindungan sosial dan pengurangan risiko bencana. Ketiga program tersebut adalah proteksi sosial, reduksi risiko bencana, dan adaptasi perubahan iklim, tutupnya. (LIPI)