Jakarta – Ketua Masyarakat Standardisasi Indonesia (Mastan) Supandi mengatakan kualitas penelitian manufaktur logam di Indonesia masih tertingal dibandingkan negara lain.
“Kualitas kelembagaan penelitian, kerja sama penelitian antara perguruan tinggi dan industri, serta ketersediaan ilmuwan dan ahli teknologi Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain,” ujar Supandi dalam seminar “Menumbuhkembangkan Daya Saing Industri Manufaktur Logam dan Mesin melalui Inovasi dan Standardisasi” di Jakarta, Kamis.
Penganggaran dana untuk penelitian di Indonesia masih rendah dan belum menjadi prioritas. Begitu pula dengan jumlah pelaku riset.
“Persoalan lain di antaranya masih rendahnya jumlah Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib termasuk lingkup atau jenis atau macam barang yang sudah ber-SNI untuk produk industri logam dan mesin,” jelas Supandi.
Supandi menilai melemahnya produktivitas industri mesin perkakas di Tanah Air diakibatkan oleh beberapa hal, di antaranya impor material dasar dari negara “nonfree trade agreement” dikenakan bea masuk tinggi. Sementara impor produk jadi dari negara yang menjalin perjanjian dagang tidak dikenakan.
Kemudian, struktur ongkos produksi pada industri perkakas sekitar 40 persen hingga 60 persen hanya untuk bahan baku. Sedangkan tarif bea masuk baja MFN sesuai PMK No. 97/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor paling rendah 10 persen dan paling tinggi 20 persen.
“Disharmoni tarif ini menyebabkan harga produk dengan nilai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) tertentu mendapatkan preferensi harga lebih tinggi 10 persen, tetapi tetap tidak mampu bersaing dengan produk mesin perkakas impor,” kata dia.
Seminar yang diselenggarakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) berkerja sama dengan Mastan itu diharapkan mampu mengindentifikasi masalah dan menemukan solusi untuk memicu inovasi dan standardisasi barang hasil produksi di sektor logam dan permesinan.
Selain itu, hasil seminar juga diharapkan akan menghasilkan usulan kebijakan baru, menyempurnakan atau sinergi kebijakan fiskal yang ada, agar insentif pajak yang diberikan pemerintah lebih menarik. (Antara)