Dikutip dari tirto.id – Inovasi dapat menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dan hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tak hanya itu, negara yang berinvestasi pada inovasi dapat lebih siap dalam menghadapi kondisi ekonomi yang dinamis dan penuh tantangan. Bagaimana tingkat inovasi Indonesia di dunia?
Posisi Indonesia di ASEAN
Global Innovation Index (GII) merilis laporan tahunan yang bertujuan untuk menangkap aspek multidimensi dari inovasi dengan memahami secara lebih rinci aspek manusia di balik inovasi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi.
Laporan keluaran Cornell University, INSEAD dan World Intellectual Property Organization ini memiliki tujuh kerangka penghitungan, yaitu institusi (institutions), pembangunan manusia dan penelitian (human capital and research), infrastruktur (infrastructure), kemajuan pasar (market sophistication), kemajuan bisnis (business sophistication), keluaran ilmiah (scientific outputs), dan keluaran kreatif (creative outputs). Rentang skor yang digunakan adalah 0-100.
Pada laporan 2018, Singapura ー dengan skor 59,8 ー tercatat sebagai satu-satunya negara Asia dan ASEAN yang menempati lima besar dunia. Negara ASEAN lainnya yang masuk dalam 50 besar adalah Malaysia di posisi ke-35 dan Thailand di peringkat 44.
Sementara itu, Indonesia ada di urutan ke-85 dengan skor 29,8. Di ASEAN, Indonesia menempati peringkat kedua terbawah di atas Kamboja yang memiliki skor 26,7. Di atas Indonesia ada Filipina (31,6), Brunei (32,8), dan Vietnam (37,9).
Riset Adalah Kunci
Laporan GII menyebutkan bahwa Cina adalah salah satu negara dengan pertumbuhan paling cepat. Pada 2011, misalnya, Cina berada pada posisi 29 dengan skor 46,4. Lalu, pada 2018, Negeri Tirai Bambu itu masuk 20 besar dunia di peringkat 17 dengan skor yang naik 6,7 poin menjadi 53,1. Indonesia, sementara itu, hanya naik 2 poin selama hampir satu windu.
Pesatnya peningkatan Cina ini dipandu oleh kebijakan pemerintah yang memprioritaskan penelitian atau research and development (R&D). Indikator yang tercatat meningkat di antaranya adalah jumlah perusahaan R&D global, publikasi ilmiah, dan pendaftaran perguruan tinggi (tertiary enrolment).
Peningkatan lain tampak pada belanja R&D, jumlah peneliti, dan paten. Indikator-indikator tersebut masuk dalam sub-pilar tertiary education, research and development, dan knowledge creation.
Di Cina, secara umum, ketiga sub-pilar tersebut memperlihatkan tren yang meningkat. Sub-pilar dengan skor tertinggi adalah knowledge creation dengan skor 69,13 pada 2018, naik dari 67,09 pada 2014. Sub-pilar berikutnya, research & development, mencatat pertumbuhan terbesar dengan kenaikan poin sebesar 14,03, yaitu dari skor 45,05 pada 2014 menjadi 59,09 pada 2018. Peningkatan juga tampak pada sub-pilar tertiary education.
Sebaliknya, Indonesia tak menunjukkan peningkatan signifikan. Selama lima tahun, sub-pilar knowledge creation cenderung stagnan dengan skor di kisaran angka tiga. Pada sub-pilar lainnya, pencapaian Indonesia bahkan tercatat menurun. Penurunan terbesar ada pada sub-pilar tertiary education, yaitu dari skor 26,80 pada 2011 menjadi 21.25 pada 2018.
Buruknya catatan ini seolah mencerminkan nihilnya keseriusan pemerintah menggarap bidang penelitian dan peningkatan kualitas manusia dalam hal inovasi. Padahal, negara maju percaya bahwa riset berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah dengan meningkatkan rasio pengeluaran penelitian dan pengembangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) – atau Gross Expenditure on R&D (GERD).
Negara-negara dengan komitmen yang tinggi terhadap riset, berdasarkan data 2013, adalah Korea Selatan (4,1 persen), Jepang (3,5 persen), dan Finlandia (3,3 persen). Di tingkat ASEAN, yang memiliki rata-rata GERD per PDB tinggi adalah Singapura (2,0 persen) dan Malaysia (1,1 persen). Sementara itu, GERD per PDB Indonesia belum mencapai angka 1 persen – hanya sebesar 0,085 persen – dan jauh tertinggal dibandingkan GERD dunia yang berada di kisaran 2 persen.
Di sisi lain, komposisi belanja penelitian dan pengembangan di Indonesia pun masih didominasi pemerintah. Dengan kata lain, perlu dorongan agar proporsi sektor swasta atau bisnis dalam penelitian dan pengembangan dapat meningkat.
Minimnya Lulusan Perguruan Tinggi
Rendahnya skor sub-pilar tertiary education tampak pada minimnya jumlah tenaga kerja di Indonesia lulusan perguruan tinggi. Dari data BPS, tenaga kerja lulusan sekolah dasar (SD) mendominasi pangsa tenaga kerja Indonesia. Selama 2014 hingga 2018, setidaknya seperempat dari tenaga kerja merupakan lulusan SD.
Bila Indonesia masih didominasi pekerja berpendidikan rendah, apakah para tenaga kerja siap dengan perubahan dan dinamika industri? Apakah para pekerja Indonesia cukup adaptif, fleksibel, dan inovatif untuk bertahan dalam gelanggang kerja? Sejumlah pertanyaan tersebut dapat menjadi catatan. Hal ini karena memasuki industri 4.0 tak cuma soal kesiapan dan kecanggihan teknologi yang digunakan, kualitas SDM ketenagakerjaan tak kalah penting dan mesti menjadi perhatian utama pemerintah.
Sumber daya terbesar dari pembangunan adalah manusia. Oleh karenanya, perbaikan kualitas pendidikan adalah hal mendesak yang perlu jadi prioritas. Jika tidak, para pekerja Indonesia akan sulit bersaing dengan pekerja negara lain. Pada laporan Global Talent Competitiveness Index 2019, Indonesia tercatat berada di peringkat 67 dari 125 negara di dunia.
Jika Indonesia tak mau terus tertinggal, maka mesti ada peningkatan kualitas pendidikan, anggaran riset, dan kontribusi negara terhadap inovasi. Selain itu, terbatasnya anggaran pemerintah untuk riset dapat diatasi dengan melibatkan swasta untuk berkontribusi dalam ekosistem riset.