News

KPBU Pengelolaan Sampah Perlu Kejelasan Regulasi

JAKARTA – Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Pembangunan dan Keuangan Daerah Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (BPP Kemendagri) menyimpulkan, kerja sama pengelolaan sampah melalui skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha) di daerah selama ini belum cukup optimal. Hal itu disampaikan oleh ketua Tim Peneliti BPP Kemendagri Ray Ferza dalam acara Seminar Laporan Akhir Kerja Sama Pengelolaan Sampah di Aula BPP Kemendagri 12/9.

Dalam penelitiannya, Ray mengatakan dari 6 lokasi penelitian di daerah, sejauh ini hanya Kota Surabaya dan DKI Jakarta yang sudah memasuki tahap operasi. Puslitbang Pembangunan dan Keuda melakukan penelitian KPBU pengelolaan sampah di 6 lokasi penelitian di antaranya, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Kota Batam, Kota Surabaya, dan Kota Tangerang.

“Sejauh ini hanya ITF Sunter di Jakarta dan TPPAS Bendowo di Surabaya yang sudah beroperasi. Sementara untuk Jawa Barat baru memasuki tahap konstruksi. Sisanya masih dalam tahap perencanaan, penyiapan, dan transaksi,” ucapnya.

Belum optimalnya pengelolaan sampah melalui skema KPBU, menurut Ray dikarenakan kurangnya regulasi yang memayungi kerja sama tersebut. Sebagai contoh TPPAS Nambo di Jawa Barat harus menunggu satu tahun untuk bisa beroperasi akhir tahun ini. Kesepakatan tipping fee yang belum tercapai, serta financial close antara bank dengan konsorsium yang terhambat, menjadi salah satu penyebab utama pengelolaan TPPAS Nambo masih jalan di tempat.

Hal itu juga diakui oleh Agung Mulyana dari PPPLI (Persatuan Pengusaha Pengolah Limbah Indonesia). Menurut Agung ada tiga hal tantangan kerja sama pengelolaan sampah. Pertama dari sisi hukum, perlu kejelasan landasan hukum kerja sama yang dilakukan pemerintah dengan KPBU. Kedua di bidang teknologi, diperlukan teknologi canggih yang mudah dipahami dan dioperasionalkan, tidak lekas usang dan relatif murah dibandingkan dengan teknologi sejenis. Ketiga, bidang pembiayaan. Perlu kredit jangka panjang dengan suku bunga tinggi, selain itu harus diikuti oleh kurs nilai tukar yang stabil.

“Perlu diatur kejelasan regulasi sehingga tidak meragukan konsorsium. Seperti unsur harga hasil produksi pengolahan, serta harga tipping fee yang dibayarkan. Kenapa harus sama dan berbeda di setiap daerah. Nominalnya harus jelas alasannya,” katanya.

Terkait hal itu, Reghi Perdana Sub Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang Bangun Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional menyarankan, agar KPBU berjalan sukses, pemerintah harus bisa memastikan beberapa hal di antaranya; Tersedianya alokasi kebutuhan pendanaan yang cukup untuk pelaksanaan tahap perencanaan, penyiapan, dan transaksi KPBU; Proses perencanaan yang baik dan identifikasi proyek infrastruktur yang tepat. Proses penyiapan KPBU yang baik dengan didukung dengan dokumen studi yang dapat dipertanggungjawabkan; Alokasi risiko yang tepat beserta rencana mitigasinya; Proses pengadaan KPBU transparan, cepat dan akuntabel; dan Pemberian dukungan pemerintah yang tepat untuk meningkatkan kelayakan proyek KPBU.

“Selama ini belum ada pedoman skema KPBU dalam pengelolaan sampah. Sejauh ini baru ada 2 pedoman skema KPBU yaitu KPBU bidang kesehatan di Kementerian Kesehatan, dan KPBU bidang air minum,” terangnya.

Dari hasil penelitian tersebut, Pulitbang Pembangunan dan Keuda merekomendasikan beberapa hal di antaranya, diperlukan peraturan menteri mengenai besaran tipping fee yang berbeda di setiap daerah, dan memastikan pembinaan dan pengawasan KPBU. Selain itu, perlunya mengoptimalisasi BPP di daerah dan pembentukan Badan Pengelola Sampah di tingkat nasional.

“Pemerintah juga harus menerbitkan peraturan untuk inovasi teknologi produk akhir sampah, seperti RDF,” jelas Ray. (MSR)

 

 

Join The Discussion