Riset sangat penting dalam perkembangan kehidupan dan peradaban. Melalui riset, berbagai pengetahuan baru bermunculan, rentetan teknologi baru terus dikembangkan. Berbagai kendala dan persoalan yang dihadapi umat manusia amat mungkin ditemukan jawabannya melalui riset.
Bagaimana kondisi dunia penelitian di Indonesia?
Berdasarkan data SCImago, sepanjang 1996-2016, jumlah publikasi terindeks global Indonesia mencapai 54.146 publikasi. Bila dibandingkan Singapura, Thailand, dan Malaysia, peringkat Indonesia masih jauh berada di bawah ketiga negara ASEAN itu. Pada 2016, di tingkat dunia, Indonesia menempati peringkat 45 untuk jumlah dokumen yang terpublikasi internasional. Di kawasan Asia, posisi Indonesia berada di urutan 11, sementara di tingkat ASEAN peringkat keempat.
Selain itu, tren jumlah dokumen publikasi di Singapura, Thailand, Malaysia, dan Indonesia terus meningkat. Mulai 2010, Malaysia menggeser posisi Singapura ke peringkat kedua. Terkait dokumen yang terpublikasi di Indonesia, jumlahnya meningkat menjadi 46,41 persen (11.470 publikasi) jika dibandingkan 7.834 publikasi pada 2015. Kendati naik, angka ini masih jauh bila dibandingkan Singapura (19.992 publikasi) dan Malaysia (28.546 publikasi).
Menariknya, jumlah citation atau kutipan mengalami tren penurunan sejak 2013. Selain itu, meski Malaysia berada di peringkat pertama dalam jumlah dokumen yang terpublikasi, tetapi bila dilihat dari jumlah citation, Malaysia berada di peringkat kedua (19.024 kutipan) setelah Singapura (32.504 kutipan) pada 2016. Thailand berada di peringkat ketiga (11.331 kutipan) dan Indonesia keempat (4.604 kutipan).
Selain publikasi, cara lain untuk melihat posisi dan kontribusi riset adalah jumlah paten yang dihasilkan. Bersumber dari United States Patent and Trademark Office, hingga 2015, total paten Indonesia yang terdaftar pada Kantor Paten Amerika berjumlah 333. Angka ini masih sangat jauh dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (10.044 paten), Malaysia (2.690 paten), dan Thailand (1.043 paten). Tidak hanya tertinggal, pertumbuhan paten Indonesia juga menunjukkan tren yang stagnan sejak 2005.
Rendahnya jumlah dokumen yang terpublikasi secara internasional, salah satunya, disebabkan sedikitnya jumlah peneliti di Indonesia. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2017 menunjukkan peneliti di Indonesia (hanya) berjumlah 9.685 orang. Angka tersebut merupakan jumlah peneliti di seluruh pejabat fungsional peneliti dari seluruh Kementerian/LPNK di Indonesia.
Memang ada tren kenaikan kuantitas sejak 2010. Pada 2010 jumlah peneliti di Indonesia mencapai 7.502 orang, pada 2012 berjumlah 8.075 orang. Angka terus meningkat menjadi 9.128 orang pada 2014.
Meski jumlahnya terus bertambah, jumlah ini masih terbilang sedikit dibandingkan negara di kawasan ASEAN. Sebab, rasio jumlah peneliti dengan jumlah penduduk di Indonesia adalah 90 peneliti berbanding 1 juta penduduk. Misalnya saja, rasio jumlah peneltii dengan jumlah penduduk di Singapura adalah lebih dari 7000 ribu peneliti per satu juta penduduk. Sedangkan Malaysia sebanyak 2.590 peneliti per satu juta penduduk. Sementara di Indonesia, rasionya sebesar 1.071 peneliti per satu juta penduduk.
Faktor penting lainnya adalah anggaran riset. Negara-negara dengan perekonomian maju memiliki komitmen tinggi untuk berinvestasi dalam riset. Mereka percaya riset berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Bentuk komitmen ini dilihat dari rasio pengeluaran penelitian dan pengembangan terhadap PDB –atau Gross Expenditure on R&D (GERD).
Negara-negara dengan komitmen yang tinggi terhadap riset, berdasarkan data 2013, adalah Korea Selatan (4,1 persen), Jepang (3,5 persen), dan Finlandia (3,3 persen). Di tingkat ASEAN, yang memiliki rata-rata GERD per PDB tinggi adalah Singapura (2,0 persen) dan Malaysia (1,1 persen). Sementara itu, GERD per PDB Indonesia belum mencapai angka 1 persen –hanya sebesar 0,085 persen– dan jauh tertinggal dibandingkan GERD dunia.
Di satu sisi, komposisi belanja penelitian dan pengembangan (litbang) di Indonesia pun masih didominasi pemerintah. Dengan kata lain, perlu dorongan agar proporsi sektor swasta atau bisnis dalam penelitian dan pengembangan dapat meningkat.
Anggaran yang kecil, rendahnya jumlah peneliti, dan sedikitnya publikasi ilmiah juga berdampak pada sukarnya daya saing universitas-universitas Indonesia di tingkat dunia. Mengacu daftar yang dibuat Times Higher Education, dua universitas Indonesia, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI), berada di peringkat lebih dari 800. Di Asia, ITB menempati urutan 201-250 dan UI lebih dari 251. Sementara itu, merujuk pada data QS Ranking, peringkat UI di dunia adalah 325 dan ITB adalah 401-410. Dari data yang sama, di tingkat Asia, UI menempati urutan ke 67 dan ITB ke 86.
Tampak korelasi positif antara jumlah publikasi ilmiah, besaran anggaran, dan jumlah peneliti dengan peringkat universitas. Universitas dengan negara-negara yang berkomitmen tinggi dalam hal riset masuk dalam peringkat 50 besar dunia. Misalnya saja Singapura. Berdasarkan daftar QS tingkat dunia, National University of Singapore menempati urutan 12 dan Nanyang Technological University ke 13. Sementara di Asia, National University of Singapore menempati posisi pertama dan Nanyang Technological University peringkat ke 3.
Paparan data di atas menunjukkan dunia riset Indonesia masih harus banyak dibenahi. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga keterlibatan sektor swasta. Peningkatan anggaran menjadi hal penting untuk meningkatkan jumlah penelitian dan publikasi ilmiah. Selain itu, belum nyambungnya hasil riset dengan kebutuhan industri juga menjadi persoalan yang memerlukan solusi.
Hal lain adalah pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya riset yang belum optimal, seperti anggaran, fasilitas riset, dan peneliti. Semua hal ini perlu dibarengi dengan meningkatkan budaya dan literasi ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Indonesia. (IFR/Tirto.id)