Dikutip dari kompas.id, sejumlah lembaga penelitian di Indonesia memiliki kapasitas laboratorium yang mumpuni untuk mendeteksi virus korona tipe baru atau yang saat ini disebut COVID-19. Untuk itu, kolaborasi dari sejumlah lembaga ini diperlukan agar hasil riset lebih optimal.
Deputi Kepala Bidang Penelitian Translasional Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, David Handojo Muljono yang juga Guru Besar Luar Biasa Universitas Hasanuddin Makasar, menjelaskan, kolaborasi dan kemitraan antara lembaga riset sangat dibutuhkan dalam mendeteksi COVID-19. Selain agar hasil riset menjadi lebih cepat dan tepat, kolaborasi ini bisa meningkatkan kapasitas masing-masing lembaga.
“Informasi terkait desain primer yang digunakan untuk mendeteksi COVID-19 belum sempurna dan terus berkembang. Dengan memadukan kompetensi dari lembaga penelitian yang ada, kita bisa saling bertukar informasi sehingga pengetahuan yang dimiliki bisa ditingkatkan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Ia menambahkan, hasil pemeriksaan spesimen dari pasien yang diawasi terkait COVID-19 perlu dipantau lebih lanjut. Meskipun pemeriksaan menunjukkan hasil, baik positif maupun negatif, perlu ada konfirmasi silang di laboratorium berbeda.
Menurut David, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman merupakan salah satu lembaga dengan laboratorium terstandar yang mampu memeriksa spesimen klinis dari pasien terduga virus korona tipe baru ini. Selain itu, laboratorium di lembaga penelitian itu bisa dimaksimalkan sebagai laboratorium pembanding atau konfirmasi dari hasil pemeriksaan.
Sementara Peneliti di Lembaga Eijkman, Herawati Sudoyo, berpendapat, konfirmasi pemeriksaan spesimen yang diduga terinfeksi COVID-19 juga diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan publik akan hasil dari pemeriksaan yang dijalankan. Menurut panduan dan prosedur penelitan pun memang diharuskan melakukan konfirmasi dari hasil riset.
Dua metode
Koordinator Penelitian Emerging Virus Research Unit LBM Eijkman, Frilasita Aisyah Yudhaputri menyampaikan, ada dua metode deteksi COVID-19 yang dikembangkan di LBM Eijkman. Metode itu meliputi Pan-coronavirus dan real time polymerase chain reaction (RT-PCR).
“Deteksi COVID-19 membutuhkan sistem terintegrasi dilengkapi kemampuan, kapasitas, dan fasilitas sumber daya yang mendukung. Saat ini, laboratorium di LBM Eijkman juga dilengkapi dengan sarana Biosafety Level-3 yang mampu mendeteksi COVID-19,” ujarnya.
Data Kementerian Kesehatan per 10 Februari 2020 pukul 18.00, terdapat 64 spesimen COVID-19 yang dikirim dari 16 provinsi ke laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). Dari jumlah itu, 62 spesimen hasilnya negatif dan dua spesimen lain dalam proses pemeriksaan.
Dalam rilis resmi Kementerian Kesehatan, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Balitbangkes, Vivi Setiawaty mengatakan, semua spesimen pasien dalam pengawasan COVID-19 diperiksa di laboratorium Balitbangkes sebagai laboratorium rujukan nasional sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 658/2009. Alat dan kemampuan laboratorium ini terstandar oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Proses pemeriksaan dilakukan sesuai dengan WHO. Pengambilan spesimen juga tdak dilakukan sekali melainkan beberapa spesimen pada satu orang pasien. Selama ini, spesimen yang diperiksa menunjukkan hasil yang negatif,” tuturnya.