Jakarta: Dunia riset dan penelitian di Indonesia sulit tumbuh dan berkembang. Salah satunya karena terganjal kerumitan birokrasi dalam administrasi produk ilmu pengetahuan.
Dosen Ilmu Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Al Makin mengkritisi terlalu rumitnya birokrasi dan administrasi riset dan penelitian di Indonesia. “Prosedural dan banyak mengahabiskan energi. Administrasi kadang dianggap lebih esensial dari inti persoalan dan tujuan pengetahuan,” ujar Al Makin, dalam keterangan resmi yang diterima Medcom.id tentang pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Ushuluddin, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis, 8 November 2018.
Al Makin mengatakan, perlu ada perombakan sistem administrasi yang birokratif dan membelenggu riset dan penelitian tersebut. “Jangan sungkan menyerap sistem negara-negara maju yang universitasnya melahirkan penghargaan Nobel, ilmuwan dunia, penemuan- penemuan berkelas. Sistem seperti Tenure Track perlu dipertimbangkan, demi membuat dosen produktif dan leluasa pindah dari satu kampus ke kampus lain,” tegas Al Makin.
Al Makin menyebutkan salah satu contoh nyata, betapa rumitnya birokrasi atas produk-produk keilmuwan. Riset luar negeri misalnya, harus seizin sekretarat negara.
“Bayangkan dosen yang jumlahnya kira-kira 287.681 orang di Indonesia, harus mendapatkan izin satu pintu di Sekneg,” ucapnya
Selembar surat izin yang tidak pasti inilah yang sering menjadi bahan pemeriksaan riset, bukan riset itu sendiri atau hasil publikasi. Birokrasi seakan sudah mendarah daging, dan jadi bagian dari mental bangsa.
“Birokrasi mengontrol ilmu pengetahuan dan kehidupan. Semua harus dijalani dengan administrasi yang panjang dan melelahkan. Ilmu pengetahuan tunduk di bawahnya,” tuturnya.
Bahkan para dosen yang seharusnya menjadi ilmuwan yang berpikir bebas, harus dan sudah terbiasa menjalani prosedur rumit yang tidak ilmiah. Ia juga menilai, birokrasi dan administrasi selama ini memegang kendali riset, pengembangan institusi, dan jejaring internasional.
“Riset kurang punya daya tawar di hadapan administrasi. Riset tidak mengatur kebijakan, tetapi kebijakan birokrat mengatur riset,” terang Al Makin. (medcom.id)