Dikutip dari sindonews.com, analisis yang dilakukan Allen Institute for Artificial Intelligence menunjukkan China telah mengalahkan Amerika Serikat (AS) dalam hal kecerdasan buatan (AI). China bermain dalam tataran “kualitas menengah” dan “kualitas rendah”. Kelebihan China memiliki banyak penelitian dalam bidang AI yang dikutip banyak pihak pada tahun ini.
China juga menjadi perhatian Washington dan Silicon Valley karena Beijing sudah mengembangkan kendaraan otonom, virtual reality, dan jaringan wireless generasi kelima. Peneliti Allen Institute Field Cady dan Oren Etzioni mengungkapkan investasi AI di China juga meningkat dalam satu dekade lalu. Sebelumnya pada 2017 lalu, Beijing berencana akan menjadi pemimpin dunia dalam bidang AI pada 2030 mendatang.
“Hal yang paling terukur, China mengalahkan AS dalam pengumpulan jurnal yang dikirim dan dipublikasikan,” kata Cady dan Etzioni. Mereka juga mengatakan pengetatan imigrasi AS menjadikan perkembangan AI menjadi tidak berkembang. “AS memiliki kendala dalam merekrut mahasiswa asing dan ilmuwan asing. Itu menjadikan China bisa membangun supremasi yang tinggi dalam bidang AI,” ujarnya.
Perkembangan bisnis AI di China juga berkembang pesat. Hal itu diakui Vincent Chan, kepala strategi ekuitas China pada salah satu bank investasi dilansir CNBC. Bisnis AI juga dikembangkan banyak startup unicorn di China dengan nilai mencapai USD1 miliar. Banyak perusahaan teknologi China fokus pada AI dan robot seiring dengan kebutuhan serta perkembangan bisnis. “Banyak perusahaan A di China. Perkembangannya terus meningkat,” ujar Chan.
Tak ingin kalah dari China, lembaga think tank dan peneliti AS baru-baru ini menyerukan Washington agar mengembangkan strategi AI secara nasional. Mereka juga mendorong sektor publik dan privat bisa bekerja sama dalam sektor tersebut. Bulan lalu, Presiden Donald Trump menandatangani American AI Initiative untuk meminta pemerintah mengerahkan seluruh sumber daya mengembangkan AI. Namun, para analis menilai strategi Trump itu kurang komprehensif.
Dalam hasil penelitian ResearchAndMarkets.com menyatakan belanja A di AS meningkat 77.3% pada 2018 hingga mencapai USD4.180 juta. Mayoritas AI yang laku adalah menganalisis kesempatan pasar dan risiko industri. Sektor paling sering memanfaatkan AI adalah perbankan dan industri keuangan. Sementara itu, dalam perkembangan terbaru, CEO Google Sundar Pinchai bertemu dengan Kepala Staf Gabungan Joseph Dunford.
Pertemuan itu setelah proyek AI Google ternyata berjalan di China yang dikabarkan menguntungkan militer China. Dunford mengungkapkan laboratorium AI yang dioperasikan Google di Beijing dibuka pada akhir 2017 lalu. Kurang dua tahun kemudian, sebuah kantor kecil itu justru menjadikan Google kebingungan. Itu bertentangan dengan ambisi Google dengan keinginan militer AS yang mengkritik perkembangan militer China.
Pentagon dan China merupakan kemungkinan pembeli utama teknologi AI yang dikembangkan Google yang bernilai miliaran dolar. Selain Google, Amazon dan Microsoft juga sangat agresif mengembangkan AI. Awalnya Google mengklaim belum mendapatkan kontrak, baik dari Pentagon ataupun China. Sepekan lalu, Google mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak bekerja sama dengan militer China.
Mereka juga menutup mesin pencari dan beberapa layanan dari China pada 2010 karena faktor sensor, tapi Google tetap mempertahankan penjualan dan kantor peranti lunak. Setelah Google membuka laboratorium di Beijing, mereka menyatakan keinginan bekerja sama dengan militer AS.
Pada September 2017, Google mendapatkan kontrak Project Maven, inisiatif Pentagon untuk menggunakan teknologi pengenal gambar untuk menganalisis jejak drone. “AI dan berbagai keuntungannya tidak memiliki batas,” kata Fei-Fei Li, eksekutif Google yang menjalankan laboratorium di Beijing.
“Dan kita ingin bekerja dengan pakar AI terbaik, apapun sumber dayanya, kita ingin bekerja sama,” katanya. Teknisi AI memang jarang dan mahal, tapi kebanyakan pakar AI berasal dari China. Misalnya, Li, seorang ilmuwan komputer asal China, mengungkapkan separuh penelitian dan jurnal tentang AI berasal dari penulis China. Sejauh ini Google memberikan pelayanan AI secara gratis.
Mereka mendukung Tensorflow, perpustakaan open-source coding. Itu bertujuan agar para teknisi dan perusahaan bisa menjalankan program dengan mudah. Tahun lalu, Amazon dan Microsoft mengumumkan pembangunan laboratorium AI di China. Berbeda dengan Google, dua perusahaan itu menjual layanan cloud di China. Amazon mempromosikan layanan Amazon Web Service pada 2018 dengan memiliki 33 pelanggan di sektor publik China.