News

Kenapa Kajian Kebijakan Penting Dipublikasikan?

JAKARTA –  Menurut Rayhan Dudayev Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Sejak sembilan tahun silam, seluruh warga negara Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan informasi publik dengan diundangkannya Undang-Undang Tahun 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Pasal 3 huruf a dan e UU tersebut menyebutkan bahwa peraturan ini menjamin setiap warga negara untuk mengetahui alasan dikeluarkannya kebijakan publik, terutama yang memengaruhi hajat hidup orang banyak.

“Salah satu alasan pengambilan suatu kebijakan seperti dikeluarkannya suatu izin biasanya dituangkan di dalam kajian, umumnya berbentuk kajian sosial maupun lingkungan hidup. Namun, pertanyaannya, kenapa kajian ini menjadi sangat penting untuk diketahui publik?” ujarnya.

Kebijakan inklusif dari proses partisipatif

Rayhan juga menambahkan, konsep rasio praktis mengandaikan manusia menurutnya memunyai maksim sehingga dapat membedakan mana yang benar atau tidak. Misal, mencuri itu salah.

Maksim ini kemudian dianggap bersifat universal sehingga patut dinormakan menjadi suatu peraturan untuk mengatur hidup manusia. Namun, pada praktiknya, penggunaan konsep ini dicurigai bersifat totaliter yang memarjinalkan kelompok tertentu.

Contohnya adalah Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 yang menuai kontra karena membatasi perempuan untuk tidak keluar malam. Idealnya, suatu norma merupakan klaim intersubyektif (masyarakat), bukan malah klaim subyektif, di mana klaim hanya dilontarkan berdasarkan subjektifitas individu.

Untuk menghindari subyektivitas di dalam pembentukan norma dalam bentuk kebijakan, dibuatlah instrumen perlindungan hukum secara preventif. Instrumen ini merupakan perlindungan hukum yang dapat digunakan oleh publik sebelum dikeluarkannya kebijakan oleh pejabat negara. Salah satu bentuknya yaitu partisipasi publik.

UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang merupakan salah satu UU yang memberikan ruang kepada publik untuk menyuarakan pendapatnya dalam penyusunan rencana tata ruang. Pada tahap ini, publik dapat menyatakan keberatannya apabila penyusunan tata ruang merugikan masyarakat yang lebih luas.

“Supaya publik dapat berpartisipasi dengan cara menyatakan keberatan, perlu adanya informasi mengenai rencana tata ruang tersebut. Melalui mekanisme seperti ini, walaupun belum sepenuhnya deliberatif dan partisipatif, suatu kebijakan diharapkan mempunyai klaim intersubyektif, yang menampung banyak kepentingan di dalamnya (inklusif),” ucapnya kepada kompas.com.

Kajian sebagai syarat kebijakan

selain itu menurutnya tidak cukup pada kebijakan yang inklusif, setelah Deklarasi Rio De Janeiro tahun 1992, tiap kebijakan harus mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Konsep ini sudah dinormakan di dalam hukum positif Indonesia melalui Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam peraturan itu diatur bahwa tiap kebijakan, rencana, dan program (KRP) harus dibuat berdasarkan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), supaya KRP dipastikan telah mengintegrasikan konsep pembangunan berkelanjutan. Artinya, suatu KRP dibentuk harus memperhatikan tidak hanya pembangunan yang memberikan keadilan bagi generasi yang sekarang, tetapi juga memberikan keadilan bagi generasi yang akan datang.

Singkatnya, kebijakan bukan hanya harus diakui secara intersubyektif tetapi juga norma tersebut harus mengkomodir juga kepentingan yang lain yaitu lingkungan hidup dan juga generasi yang akan datang, melalui instrumen yang bernama kajian.

Transparan dan partisipatif

Idealnya, untuk mejadi basis kebijakan yang inklusif, kajian harus bersifat obyektif. Namun, bukan tidak mungkin, suatu KLHS atau kajian lainnya yang melandasi suatu kebijakan dibuat dengan metode yang dikehendaki si pembuat. Konsekuensinya, seperti halnya suatu kebijakan, kajian bisa bersifat eksklusif dan subyektif tergantung keinginan si pembuatnya.

Alih-alih suatu kebijakan berusaha mengakomodasi kepentingan publik luas, lingkungan, dan generasi yang akan datang melalui pembuatan kajian, penyusunan kajian dari suatu kebijakan juga tertutup. Singkatnya, baik kebijakan dan kajian yang melandasi, disusun dengan tidak transparan. Hal ini membuat tujuan pembuatan kajian tidak tercapai.

Kasus-kasus kritikal seperti reklamasi Teluk Jakarta dan semen Kendeng digantungkan kelanjutannya pada kajian yang prosesnya tertutup. Bukannya menghasilkan kebijakan yang obyektif dan inklusif dengan didasarinya kajian, kebijakan dapat menjadi lebih menekan (oppressive). Lebih parah, kajian yang tertutup dapat mengaburkan  wajah coreng kebijakan yang sebenarnya.

Rayhan mengutip pernyataan Ahli Hukum Lingkungan Universitas Indonesia Andri Guna Wibisana, yang mengatakan ketika terdapat ketidakpastian ilmiah (pro-kontra) pada suatu kebijakan, misal reklamasi Teluk Jakarta, keputusan tidak lagi dapat didasarkan sepenuhnya pada landasan ilmiah. Sehingga, proses pengambilan keputusan haruslah dilakukan secara terbuka dan kolektif, serta telah mempertimbangkan semua isu yang menjadi perhatian.

Terkait keterbukaan, keadilan prosedural telah disediakan UU No 14 Tahun 2008. Penjaminan hak tiap warga negara untuk mengetahui bukan hanya rancangan suatu kebijakan tetapi juga kajian atau pun risalah yang melandasinya harus segera diimplementasikan.

Dengan informasi dini yang didapat, diharapkan publik dapat menggunakan haknya untuk berpartisipasi, mengkritik suatu kebijakan dan kajiannya. Harapannya, kebijakan dan kajian yang melandasi memperoleh kesahihan karena terdapat kesepakatan kolektif di dalamnya. (msr/kompas.com)

Join The Discussion