JAKARTA – Puslitbang Keuangan Daerah BPP Kemendagri memandang permasalahan dana ‘mahar’ politik yang dilakukan oleh sejumlah Parpol (Partai Politik) sebagai masalah serius yang mengakibatkan rawannya korupsi APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) dalam upaya ‘balik modal’ Kepala Daerah terpilih. Untuk itu, Puslitbang Keuda menggelar FGD (Focused Group Discussion) “Pilkada Sedot Dana ke Pusat: Dampaknya Terhadap Perekonomian Daerah” pada Selasa, (13/2) di Aula BPP.
Hadir dalam acara tersebut sejumlah narasumber ahli seperti Ubedillah Badrun (Dosen Univ. Negeri Jakarta), Donal Fariz (Indonesian Corruption Watch), dan Eko Listianto (Institute for Development of Economics & Finance) yang ikut berkomentar dan memberi masukan peneliti Puslitbang Keuda BPP dalam melakukan kajian terkait Dana Pilkada Dampaknya Terhadap Perekonomian Daerah.
Ubed menjelaskan, ada beberapa pola pemberian mahar politik yang wajib diketahui masyarakat dibalik beribu alasan menghindarnya sejumlah Parpol yang mengatakan ‘sama sekali tidak mengetahui’ terkait dana mahar. “Sebenarnya ditangkapnya sejumlah pelaku yang mengatakan bahwa partainya tidak terlibat sama sekali disebabkan karena ada beragam pola pemberian mahar yang terjadi di parpol,” terangnya.
Pertama, Pola Konvensional atau memberikan langsung mahar kepada ketua umum parpol yang nilainya bisa mencapai ratusan milliar. “Pola ini biasanya sang calon gubernur dipanggil langsung oleh Ketua Umum Parpol untuk bertatap muka,” katanya.
Kedua, Pola Mediator. Pola ini menggunakan mediator (perantara) yang meminta mahar kepada calon kepala daerah. “Mediator bisa saja orang yang sama sekali tidak dikenal calon kepala daerah maupun orang yang tidak dikenal oleh pengurus partai tingkat daerah, tetapi atas perintah langsung DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Partai,” ungkapnya.
Ada lagi melalui pola hirarki structural, yakni setiap struktur partai dari daerah sampai pusat minta mahar politiknya. “Biasanya ini terjadi karena pengurus partai di daerah kurang harmonis dengan pengurus partai di tingkat DPP, sehingga pengurus partai di daerah juga meminta mahar, dan DPP juga meminta mahar. Jumlah mahar dari struktur partai di daerah sifatnya hanya pelicin untuk dibuatkan semacam surat rekomendasi dari struktur daerah ke DPP Partai,” paparnya.
Lalu ada pola pihak ketiga, yakni mahar diberikan oleh pihak ketiga (pemodal) kepada partai dengan persetujuan calon kepala daerah. Pola ini biasanya dilakukan oleh para pengusaha besar di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. “Pihak ketiga ini memiliki hubungan baik atau mendekatkan diri dengan calon kepala daerah maupun dengan pengurus partai di tingkat daerah maupun di tingkat DPP Partai, sehingga dipercaya pengurus partai,” terangnya dalam FGD tersebut.
Diskusi ini menjadi menarik dan penting dalam menciptakan regulasi yang tepat terhadap permasalahan mahar politik yang dilakukan oleh sejumlah parpol. Kepala Puslitbang Keuda, Horas Mauritz Panjaitan menjelaskan, FGD ini sebenarnya ingin menciptakan penyelenggaran Pilkada yang transparan, akuntabel sehingga terciptanya Kepala Daerah yang berintegritas. (IFR)