News

Kementan Luncurkan Bioplastik Ramah Lingkungan

Dikutip dari pikiran-rakyat.com, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian baru saja meluncurkan bioplastik nano selulosa, dan biofam, sebuah pembungkus plastik ramah lingkungan yang diklaim mampu menjadi solusi pengurangan limbah plastik yang sulit terurai. Akan tetapi, temuan-temuan tersebut terancam hanya berenti di tingkat peluncuran lantaran belum semua industri mau memproduksi massal plastik ramah lingkungan tersebut.

Peneliti Nanoteknologi Balibangtan Evi Safitri menuturkan, pengembangan plastik ramah lingkungan sejatinya sudah dilakukan sejak 2014 lalu. Produk bioplastik nano selulosa dan biofam diluncurkan bersamaan dengan empat produk unggulan nanoteknologi lainnya yakni nanobiosilika cair, nanobiopestisida cair, nanocoating benih, dan nanohidrogel.

Evi menyebutkan, bioplastik umumnya diproduksi dari pati khususnya pati singkong. Sayangnya, bioplastik yang ada di pasar saat ini masih memiliki kekurangan yakni kuat tariknya yang rendah sehingga kurang kuat menahan beban. Melalui penelitian nanoteknologi, Balibangtan kemudian berinovasi dengan memberikan tambahan nanoselulosa yang dihasilkan dari limbah pertanian.

“Bioplastik yang ada kita coba perbaiki dengan menambah nanoselulosa, dari limbah pertanian memanfaatkan jerami-jerami  yang bertumpuk di petani. Penambahan ini terbukti mampu meningkatkan kuat tarik sekaligus menurunkan permeabilitas bioplastik,” tutur Evi kepada “PR”, Kamis, 22 Agustus 2019.

Evi menuturkan,  keunggulan dari  bioplastik nano selulosa adalah plastik tersebut dapat terurai secara alami dalam waktu sekitar 60 hari. Evi meyakini, jika  bioplastik nano selulosa diproduksi secara massal, persoalan timbunan sampah plastik dapat teratasi.

“Sekarang kan isunya semakin santer, ikan-ikan di kita bahkan sudah makan plastik. Dengan teknologi ini, sebenarnya kerusakan lingkungan akibat penggunaan plastik yang sudah di ambang batas dapat terpecahkan,” kata Evi.

Tak hanya bioplastik nano selulosa, produk ramah lingkungan lainnya yang sudah dikembangkan Balibangtan yakni biofoam. Evi menyebutkan, biofoam merupakan kemasan alternatif pengganti Styrofoam yang terbuat dari bahan baku alami, yakni pati dengan tambahan serat nano selulosa limbah pertanian seperti jerami. Produk biofam juga dapat terurai dalam waktu kurang dari dua bulan jika dibuang ke lingkungan yang bersentuhan dengan tanah.

“Bahkan kalau dibuang ke tempat yang lebih lembab maka akan terurai lebih cepat. Biaya produksi biofam ini Rp 700 hingga Rp 1.500 per buah, tergantung pada sumber serat dan ukuran biofoam,” ucap Evi.

Kesulitan produksi

Sayangnya, dua produk ramah lingkungan inovasi Balibangtan itu belum dapat diproduksi massal. Harga bioplastik yang mencapai tiga hingga 4 kali lebih mahal dari plastik konvensional atau sekitar Rp 700-Rp 2.000 per kantong  membuat industri  ragu untuk memproduksi massal. “Kami lembaga riset, susah peluangnya untuk sampai ke industri, jadi baru tahap hasil penelitian, belum ada pabriknya,” kata Evi.

Namun dengan keunggulannya terhadap kelestarian lingkungan, Evi berharap ke depan ada intervensi pemerintah untuk bisa menurunkan harga bioplastik agar bisa bersaing dengan produk plastik konvensional. Seruan larangan kantong plastik oleh pemerintah daerah juga diharapkan dapat mendongkrak produksi massal kemasan ramah lingkungan tersebut.

“Dengan aturan dari pemda seperti Bogor tanpa kantong plastik, kami berharap masyarakat mau mengganti plastik konvensional dengan plastik ramah lingkungan ini, sehingga industri mau melirik bioplastik,” ucap Evi.

Wakil Wali Kota Bogor Dedie Rachim mengapresiasi inovasi dari Balitbang Kementan. Apalagi dengan adanya inovasi bioplastik nano selulosa, dan biofoam. Dedie mendorong para peneliti untuk segera mematenkan inovasi hasil risetnya, dan mendorong industri untuk memproduksi massal kemasan ramah lingkungan tersebut.

“Kalau sekrang kita baru tahap pelarangan penggunaan plastik tidak ramah lingkungan, ke depan kalau kemasan ramah lingkungan itu jadi industri besar dan kompetitif, harga bersaing dengan konvensional, silakan dimanfaatkan karena tidak merusak lingkungan,” ucap Dedie.

Join The Discussion