JAKARTA — Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) tengah menyusun peraturan mengenai double tax deduction yang pada intinya memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang melakukan penelitian. Tujuannya, untuk mendorong peran serta sektor swasta untuk melakukan riset dan pengembangan lebih banyak lagi.
Menurut Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti Muhammad Dimyati, kebijakan double tax deduction sedang disusun oleh Kemenristekdikti bersama-sama dengan Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.
“Itu akan kami dorong, mengingat kontribusi sektor swasta yang masih sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara lai,” kata Dimyati dalam seminar Inovasi untuk Negeri di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Selasa (14/8).
Dimyati menerangkan, berdasarkan data yang telah disusun oleh LIPI bekerjasama dengan Kemenristekdikti tahun 2017, jumlah dana riset di Indonesia mayoritas masih berasal dari Pemerintah atau APBN. Berbanding terbalik dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, China, Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam, yang mayoritas dana risetnya berasal dari sektor bisnis.
Karena itu, Akademisi, bisnis atau pengusaha, dan pemerintah harus bersinergi dan bekerjasama untuk melakukan percepatan riset di Indonesia. Dengan kerja sama tersebut dia yakin, hasil riset bisa optimal.
“Kita harus memanfaatkan golden momentum dari keuntungan bonus demografi untuk percepatan riset dalam negeri terutama di bidang energi dengan support dari sektor swasta,” ujar Dimyati.
Dia menjelaskan, selama ini Kemenristekdikti telah mengeluarkan beberapa kebijakan berupa peraturan untuk mendukung iklim percepatan riset dan pengembangan. Seperti rencana induk riset nasional (RIRN), penelitian berbasis output, dan penelitian multiyear.
“Penyusunan dan penetapan kebijakan ini diharapkan dapat mendukung iklim pelaksanaan riset menjadi lebih baik lagi,” harap Dimyati. (REPUBLIKA.CO.ID)