News

Kemenristekdikti Libatkan Ilmuwan Diaspora untuk Tingkatan Mutu Penelitian

Dikutip dari pikiran-rakyat.com, keterlibatan para ilmuwan diaspora dalam penelitian kolaboratif bersama para dosen lokal di semua perguruan tinggi diharapkan mampu menghasilkan penelitian yang inovatif dan berdaya saing dunia. Ini karena, secara kuantitas, jurnal ilmiah Indonesia sudah mejadi yang terbanyak di ASEAN. Kendati demikian, daya saing inovasi dari sebuah penelitiannya masih rendah.

Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti menyatakan, dalam 3 tahun terakhir, ratusan diaspora yang terlibat dalam Simposium Cendikiawan Kelas Dunia (SCKD) sudah menghasilkan lebih dari 90 jurnal ilmiah bersama dosen lokal. Jumlah tersebut akan terus meningkat mengingat SCKD tahun ini kembali digelar.

Ia menegaskan, bukan hanya dalam penelitian, para diaspora ditugasi untuk membantu para ilmuwan lokal bisa mengakses fasilitas dan lingkungan akademis di luar negeri. Dengan demikian, mutu dari penelitian yang dihasilkan akan lebih memiliki daya saing.

“Jadi jumlah publikasi sudah bagus, tapi dari sisi kualitas dan competitiveness masih belum. Kualitas itu banyak hal, idenya harus inovatif, kalau bisa betul-betul baru. Kolaborasi para diaspora dengan dosen lokal juga perlu terus didorong sehingga menghasilkan penelitian yang berbobot,” kata Ghufron di Jakarta, Senin, 19 Agustus 2019.

Rangkaian kegiatan SCKD 2019 dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden. Sebanyak 55 diaspora turut terlibat dalam SCKD yang memasuki tahun ke-4 ini. Ghufron menyatakan, sekitar 2.500 orang telah mendaftar dan bersedia datang untuk mengikuti sesi diskusi terbuka yang akan digelar pada 22-23 Agustus mendatang.

“Kami menghadirkan ilmuwan diaspora setiap tahun tak hanya untuk membantu mempercepat pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Tetapi juga fasilitas pendidikan. Contohnya laboratorium-laboratorium di Indonesia itu ada, tapi kurang mumpuni. Ilmuwan diaspora ini bisa membantu memberi masukan agar laboratorium di Indonesia juga tidak kalah dengan yang di luar negeri,” katanya.

Penyelenggaraan SCKD tahun ini bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Akademi Ilmuan Muda Indonesia (ALMI), dan Ikatan Ilmuan Indonesia Internasional (I-4). Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kemenlu Cecep Hermawan mengatakan, konsep SCKD sejalan dengan program Kemenlu yang sedang melakukan perbaruan data ilmuwan diaspora yang sejak 2016 belum terdokumentasi dengan maksimal.

“Sangat penting bagi kita semua, yaitu masalah data. Khusus untuk diaspora yang bertalenta, sebetulnya kami sudah punya data sejak 2016. Kemenlu sudah meminta perwakilan (KBRI) untuk mengidentifikasi siapa saja yang bertalenta di kalangan universitas, khususnya peneliti,” kata Cecep.

Ia menuturkan, data yang dimiliki Kemenlu saat ini ada hampir 2.000 nama ilmuwan diaspora yang beredar di 132 negara. Kendati demikian, data tersebut belum spesifik dan masih harus diperbarui.

“Data ini masih mentah, dalam artian belum secara spesifik mengklaster bidang apa sebetulnya keahlian mereka. Ini yang ingin kami terus kembangkan agar data ini lebih mendekati akurat. Kami sekitar 3 minggu yang lalu sudah meminta untuk melakukan apdet data tersebaru. Temen-temen diaspora juga memiliki data sendiri. Kemenlu juga membuat program aplikasi kartu masyarakat Indonesia di luar negeri,” ujarnya.

Ia menuturkan, perbaruan data sulit diterapkan karena sebagian besar dari para diaspora yang diperkirakan ada lebih dari 1 juta orang belum berpartisipasi aktif menggunakan fasilitas tersebut. “Kartu ini sesungguh harapannya kami ingin mendata lebih lengkap lagi. Namun demikian, kartu ini belum maksimal dimanfaatkan para diaspora. Karena tingkat manfaatnya bagi diaspora masih dirasakan kurang,” katanya.

Join The Discussion