News

Kasus Intoleransi Masih Sering Terjadi di Jateng Selama 2017

JAKARTA – Kebebasan berbicara dan berpendapat di Jawa Tengah sepanjang 2017 masih menunjukkan tren yang negatif.

Hasil penelitian tentang kebebasan beragama oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang menyebutkan, setidaknya terdapat puluhan kasus pelanggaran terjadi sepanjang tahun 2017 lalu. Kali ini, mayoritas pelanggaran didominasi penolakan terhadap kegiatan berbasis agama.

“Pelanggaran intoleransi masih didominasi kasus terorisme, kasus penolakan dan penghentian rumah ibadah, pembubaran kegiatan keagamaan,” ujar koordianator advokasi Elsa Semarang, Ceprudin, dalam peluncuran laporan tahunan kebebasan beragama Jateng 2017 di Gereja Bongsari, Semarang, Selasa (9/1/2018).

Masalah intoleransi sendiri hampir setiap tahun masih berkutat pada pendirian rumah ibadah, dan konflik horizontal di kalangan masyarakat. Permasalahan intoleransi di 2017 pada dasarnya tak jauh berbeda persoalan tahun sebelumnya.

Persoalan penolakan tempat ibadah juga masih menjadi catatan serius. Pada 2017, kasus itu masih terjadi di sejumlah tempat di Jateng.

Dalam penelitiannya, penolakan rumah ibadah sepanjang 2017 yaitu penolakan Kapel di Sukoharjo, Masjid Arqom di Kota Pekalongan, penolakan GKI Mojosongo Jebres, Solo, dan Gereja Utusan Pantekosta Colomadu Karanganyar.

Baca juga : Menurut Dedi Mulyadi, Intoleransi Bisa Diatasi dengan Kembangkan Kultur Produksi

Elsa juga masih mencatat, kasus penolakan serupa terjadi pada tahun sebelumnya, namun hingga kini masih belum jelas upaya penyelesaiannya.

Penolakan tempat ibadah itu, misalnya, menimpa GKJ Tanjung Brebes, Gereja Injii di Sragen, Gereja Babtis Indonesia di Pemalang, GITJ di Jepara, GIdI di Solo, GKJ Mejasem, Masjid Ahmadiah Kendal, Mushala Ahmadiah Boyolali, dan perusakan sanggar Sapta Darma Rembang.

Sementara dalam kasus terorisme ada 8 kasus yang terjadi di Jawa Tengah. Dari berbagai kasus itu, ada 21 terduga teroris yang ditangkap.

“Mereka ditangkap di Jawa Tengah, tapi aksinya di berbagai daerah di Indonesia,” tambahnya.

Sementara penolakan kegiatan berbasis agama tercatat terjadi di sejumlah wilayah. Antara lain penolakan kegiatan bedah buku di IAIN Solo, diskusi dharma talk show di Sukoharjo, pengajian Assyura, perayaan Cap Gomeh, pork festival, pembubaran acara HTI, pelarangan kegiatan Felix Siaw, penolakan Gus Nur, deklarasi FPI di Semarang, pembubaran kegiatan dangdutan, valentine day, hajatan HUT RI, dan penolakan aksi 1.000 lilin.

“Kelompok intoleran saat ini sangat terbuka. Hajatan HUT RI diserang itu mengatasnamakan kebinekaan, tetapi mereka hanya lips service. Kalau mereka mengatasnamakan kebinekaan harusnya tidak menindas kaum minoritas,” tambahnya.

Direktur eLSA Semarang, Tedi Kholiludin mengatakan, persoalan perusakan tempat ibadah menjadi catatan serius. Perusakan di berbagai tempat menunjukkan tren negatif kebebasan berekspresi.

Baca juga : Jokowi: Jangan Takut Melawan Intoleransi dan Kekerasan

Semestinya, masyarakat bisa lebih terbuka untuk menerima perbedaan. Menerima perbedaan inilah yang disebut sebagai sebuah toleransi beragama.

Toleransi, sambung Tedi, bisa menjadi kebajikan jika dipahami dengan upaya saling pengertian dan kerja sama memberikan jalan bagi masyarakat untuk menengahi konflik secara damai.

“Dengan begitu, toleransi bisa bermakna sebagai pengakuan, tidak hanya keterbukaan,” paparnya. (IFR/Kompas.com

Join The Discussion