Para pemerhati lingkungan hidup mengecam Jepang. Sepanjang musim panas lalu, dengan dalih untuk kepentingan penelitian, para ilmuwan negara tersebut menangkap dan membunuh 333 paus minke dalam ekspedisi selama 12 pekan di Laut Selatan, Antartika.
Dari jumlah tersebut, terdapat 181 betina–termasuk 53 ekor anakan (belum dewasa). Sebanyak 122 ekor betina dewasa ditangkap dalam keadaan hamil. Demikian disebutkan dalam laporan tim peneliti Jepang tersebut kepada International Whaling Comission (Komisi Penangkapan Paus Internasional), seperti dikabarkan The Guardian (30/5/2018).
Laporan tersebut disiapkan oleh perwakilan Institute of Cetacean Research–badan riset paus yang berasosiasi dengan Kementerian Perikanan Jepang. Para peneliti yang terlibat berasal dari perusahaan pengolahan ikan Kyodo Senpaku dan Tokyo University of Marine Science and Technology.
IWC adalah badan internasional yang mengatur perburuan paus guna menjaga keberlangsungan mamalia laut tersebut sehingga tidak punah dan industri penangkapan paus bisa terus bertahan.
Sejak 1982, IWC telah menetapkan moratorium perburuan paus untuk kepentingan komersial mulai musim 1985/1986. Akan tetapi, ada beberapa pengecualian, termasuk jika perburuan tersebut dilakukan untuk keperluan penelitian.
Beberapa negara, seperti Norwegia dan Islandia menolak moratorium tersebut, tetapi mereka menetapkan batasan tersendiri dan tetap melaporkan hasil penangkapan kepada IWC.
Sementara pemerintah Jepang sejak moratorium itu berlaku, setiap tahun selalu mengeluarkan izin penangkapan paus untuk penelitian.
Kali ini dunia internasional menilai tindakan Jepang, yang juga membunuh paus yang tengah mengandung, dianggap sudah kelewat batas.
Program manajer senior Humane Society International (HSI), Alexia Wellbelove, kepada Sydney Morning Herald mengatakan pembunuhan 122 paus yang tengah mengandung itu “sebuah statistik mengejutkan dan bukti menyedihkan dari kekejaman perburuan paus oleh Jepang”.
Wellbelove juga mengecam cara Jepang memburu paus-paus tersebut.
Daily Mail (30/5) menyebutkan, paus-paus tersebut dibunuh dengan menembakkan “tombak dengan granat pentilosis 30 gram” ke dalam tubuh mereka untuk memicu ledakan fatal yang mengakibatkan kematian instan.
Selanjutnya, paus yang dibunuh diangkut ke pangkalan kapal penelitian, Nisshin Maru, yang dihuni 12 peneliti dan dipotong di tempat.
“Tindakan itu menunjukkan operasi penangkapan paus yang kejam dan sebenarnya tak perlu dilakukan, karena saat ini sudah ada cara survei yang tidak mematikan dan terbukti hasilnya cukup untuk keperluan ilmiah,” kata Wellbelove dalam siaran pers HSI.
Meskipun kecaman internasional terhadap praktik tersebut terus berdatangan, Jepang tetap melanjutkan praktik itu. Mereka beralasan harus mendapatkan isi perut ikan paus “untuk memperkirakan komposisi dan konsumsi mangsa”.
Ketebalan lemak, berat, dan lingkar perut konon diperlukan untuk mempelajari kondisi gizi hewan. Tak hanya itu, bagian tubuh dan organ ditimbang menggunakan timbangan gantung elektronik dan pengukuran tengkorak diambil menggunakan caliper besar.
Sementara untuk mengukur usia, Jepang menyebut bahwa hanya “metode sampling mematikan” yang memadai. Itu karena para peneliti harus memeriksa tingkat sumbatan kotoran telinga yang terakumulasi di telinga paus seumur hidupnya.
Namun, selain untuk keperluan penelitian, media lokal Jepang (h/t Daily Mail) mengabarkan daging yang tersisa kemudian dijual ke pasar ikan di negara itu.
Pada tahun 2014, Mahkamah Internasional memerintahkan penghentian sementara perburuan paus tahunan di Laut Selatan setelah mereka menemukan bahwa program Jarpa II yang dilakukan Jepang ternyata sama sekali bukan untuk penelitian.
Dua tahun kemudian Jepang kembali melakukan perburuan paus menggunakan cara yang telah diperbaiki, termasuk mengurangi kuota penangkapan hingga sepertiganya, yaitu 333 ekor paus per tahun.
Pada tahun yang sama, pemerintah Jepang juga merilis rencana program 12 tahun yang total bakal membunuh 3.996 paus yang diburu di lautan Antartika.
Juru bicara Partai Buruh Australia, Tony Burke, menegaskan bahwa tak ada sisi ilmiah dari pembunuhan paus yang tengah mengandung.
Oleh karena itu mereka meminta pemerintahan Australia, yang dipimpin Perdana Menteri Malcolm Turnbull untuk tidak terus berpura-pura tak melihat apa yang dilakukan Jepang di dekat perairan Australia.
Menanggapi seruan oposisi tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Energi Australia, Josh Frydenberg, mengatakan pemerintah “sangat kecewa” terhadap perburuan paus yang dilakukan Jepang. Ia menyatakan perwakilan pemerintah pada tingkat tertinggi telah menyampaikan kekecewaan itu kepada pemerintah Jepang. (IFR/Beritatagar.id)