News

Isu Pelarangan Bercadar di UIN Sunan Kalijaga Berawal dari Penelitian

Polemik rencana pelarangan penggunaan cadar oleh mahasiswi di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta tak muncul begitu saja. Terdapat bangunan cerita yang satu per satu menyusunnya.

Berawal dari pengibaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di lingkungan kampus, beberapa waktu lalu. Insiden itu membuat UIN Suka disinyalir sebagai sarang HTI. Peristiwa itu sangat disesalkan pihak kampus.

Setelah itu, pihak kampus mulai menyusun kebijakan demi menghadirkan kampus yang menyebarkan Islam moderat. Islam yang mengakui Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini adalah arahan dari Kementerian Agama.

Mahasiswi bercadar lantas menjadi sasaran. Sebab, mereka dinilai berkaitan dengan gerakan radikal. Pelarangan ini juga bertujuan menyelamatkan kepentingan umum ketimbang kepentingan khusus.

Salah satu dasar dari kebijakan pembinaan mahasiswi bercadar di UIN Suka adalah sebuah riset. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN Suka, Waryono, mengatakan, salah satu referensi yang menjadi dasar adalah riset dari mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum).

“Risetnya berupa skripsi,” ujarnya, awal pekan ini. Waryono pun menekankan, sebagai institusi pendidikan, pasti setiap kebijakan yang diambil UIN Suka juga harus memiliki latar belakang penelitian empiris.

Berdasar penelusuran Republika di Perpustakaan UIN Suka, terdapat beberapa riset yang berkaitan dengan cadar. Terbaru, adalah sebuah riset dengan judul “Proses Penetrasi Sosial Pengguna Cadar Melalui Komunikasi Interpersonal Dalam Membangun Relasi Dengan Masyarakat” karya alumni Fishum UIN Suka M Nur Ichsan. Skripsi ini lahir pada tahun lalu.

Menurut Ichsan, beberapa waktu lalu dia sempat dihubungi oleh pihak kampus terkait riset itu. “Saya dihubungi untuk mendapat izin publikasi hasil riset di lingkungan kampus. Sebab, saat itu kampus sedang melakukan kajian terkait mahasiswi yang mengenakan cadar,” ujar Ichsan kepada Republika.

Berdasarkan riset itu, dia mengungkap beberapa fakta terkait mahasiswi bercadar di UIN Suka. Salah satunya, sejumlah mahasiswi bercadar di UIN Suka tergabung dalam komunitas bernama Niqobis. Niqobis adalah wadah atau perkumpulan bagi pengguna cadar di UIN Suka.

Awal mula Niqobis dilatarbelakangi oleh rasa takut. Hal itu diungkapkan oleh salah satu informan dalam riset Ichsan. Dalam riset itu, informan menyadari perempuan bercadar adalah kaum minoritas di lingkungan UIN SUka.

Oleh karena itu, informan merasa ada ketakutan dan perasaan tak memiliki teman ketika beraktivitas di lingkungan kampus. Karena itu, dia bersama beberapa mahasiswi bercadar di UIN Suka pun kemudian membuat komunitas yang mewadahi mahasiswi bercadar dengan nama Niqobis.

Namun, seiring waktu berjalan, komunitas yang hanya beranggotakan mahasiswi UIN Suka, kini telah melibatkan sebagian pengguna cadar di kawasan Yogyakarta. Beberapa program yang dilakukan komunitas yang dibentuk pada 2016 itu, di antaranya adalah program kesehatan.

Menurut keterangan informan dalam riset itu, anggota Niqobis kerap mengalami kesalahpahaman antaranggota. Sampai-sampai, hal ini pun kemudian membuat jumlah anggota Niqobis yang kian berkurang.

“Tak semua anggota Niqobis membuka diri. Anggota yang tertutup tidak mengkuti agenda yang kita gelar, seperti kumpul bersama,” ujar informan dikutip dari hasil wawancara Ichsan dengan informan pada Oktober 2017.

Bahkan, terdapat anggota Niqobis yang kemudian marah dan memutuskan keluar dari grup karena ada foto yang diunggah di media sosial.

Kaitannya dengan eksklusivitas dan alienasi yang diterapkan oleh mahasiswi bercadar dan menjadi sorotan bagi UIN Suka, Ichsan pun mencoba memetakan interaksi sosial dari seluruh informan. Hal itu ia ungkapkan melalui hubungan antara konsep diri dan membuka diri yang dijelaskan melalui konsep Johari Window.

Dari pendalaman Ichsan, dia menggambarkan tiga informan di antara enam informan bersikap terbuka. Sedangkan tiga lainnya bersikap tersembunyi. Ichsan menerangkan, informan yang terbuka cenderung memiliki pemikiran yang terbuka pada dunia secara umum dan memiliki keingingan untuk diketahui.

Sedangkan, informan yang tersembunyi cenderung memegang teguh bahwa diri sendirilah yang menentukan kebijaksanaan. Sikap ini juga mencerminkan usaha seseorang untuk membatasi masukan atau informasi yang menyangkut dirinya.

Temuan lain berkaitan dengan panggilan yang digunakan oleh mahasiswi bercadar di UIN Suka, yaitu “Um”. “Um” merupakan panggilan khusus yang digunakan oleh mahasiswi bercadar ketika bertegur sapa dengan sesama pengguna cadar. Namun, “Um” adalah kata sapaan bagi sesama pengguna cadar yang belum dikenal.

Terkait dengan panggilan khusus di antara sesama pengguna cadar, Ichsan juga mengungkap pengguna cadar juga memiliki sapaan tersendiri bagi sesama pengguna cadar yang sudah dikenal, yakni menggunakan sapaan “Uhk” atau “Ukhti”.

Menurut dia, penggunaan kata “Um” yang memiliki makna umi atau ibu itu dimaksudkan untuk memberi kesan penghormatan dengan sikap lebih ramah dan menganggap lawan bicara yang belum dikenal itu lebih dewasa.

Ia pun mengatakan, pengguna cadar memiliki kedekatan emosional berlebih antarsesama pengguna cadar. Kedekatan ini jauh lebih intens dibandingkan dengan kedekatan antara pengguna cadar dan wanita berjilbab, tetapi tak mengenakan cadar.

Hambatan komunikasi

Hal menarik lainnya yang berhasil tergali dalam riset Icshan adalah mahasiswi bercadar di UIN Suka mengalami hambatan dalam proses komunikasi interpersonal. Bahkan, hambatan itu terjadi, baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan akademik, maupun lingkungan masyarakat.

Menurut Ichsan, hambatan yang dialami ketika berinteraksi, antara lain, arena ada problematika keluarga yang menentang keputusan penggunaan cadar. Selanjutnya, mahasiswi bercadar juga mengalami hambatan psikologis dari masyarakat yang merasa takut atau enggan ketika ingin berkomunikasi dengan perempuan bercadar. Uniknya, bahkan pengguna cadar pun “kurang harmonis” dengan sesama pengguna cadar lain di UIN Suka.

Informasi yang menarik yang berhasil dihimpun dari riset itu adalah, dalam Niqobis, terdapat hambatan berkomunikasi antarsesama anggota. Artinya, bahkan dengan sesama pengguna cadar pun belum terjalin keterbukaan dan belum tercipta sebuah kedekatan antaranggota.

Dari situ, riset Ichsan pun menyimpulkan bahwa pola komunikasi yang terjalin dalam kelompok Niqobis belum mencapai tahap komunikasi yang efektif (REPUBLIKA.CO.ID)

Join The Discussion