JAKARTA, KOMPAS.com—Insentif bagi perusahaan yang fokus melakukan riset dan pengembangan di Indonesia dinilai belum menarik. Banyak perusahaan pun ditengarai memilih melaksanakan riset di luar negeri.
“Kami wawancara beberapa perusahaan di Indonesia, mereka beberapa melakukan riset di luar negeri karena lebih menarik insentifnya,” kata Program Director Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya, Selasa (8/5/2018).
Wawancara yang Berly lakukan itu adalah dalam rangka riset untuk mengukur peran investasi di sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta paten terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
“Jadi, orang kita saja risetnya di luar negeri, apalagi (perusahaan asal) negara asing,” ujar Berly dalam diskusi di Upper Room, Jakarta.
Salah satu faktor pendukung untuk memajukan sektor TIK adalah inovasi yang dimunculkan melalui riset dan pengembangan. Berly mencontohkan, perusahaan yang fokus melaksanakan riset di Malaysia bisa mendapatkan insentif berupa tax holiday selama 5 tahun.
Di Jepang dan Korea Selatan, lanjut Berly, kebijakan insentif akan ditambah jika perusahaan yang melaksanakan riset berkolaborasi dengan universitas atau lembaga riset lokal.
“Perusahaan yang melakukan riset di Indonesia, cuma dapat (insentif) 1 tahun tax allowance, jadi memang belum terlalu menarik,” tutur Berly.
Meski begitu, Berly mengapresiasi langkah pemerintah yang telah meluncurkan peta jalan Industri 4.0. Dalam peta jalan tersebut, ada poin yang mengatur pemberian insentif bagi investasi sektor teknologi sehingga diharapkan bisa jadi daya tarik bagi perusahaan untuk melakukan riset di Indonesia.
“Kami juga merekomendasikan agar Kementerian Keuangan meningkatkan anggaran untuk aktivitas penelitian dan pengembangan serta menyediakan insentif fiskal yang kompetitif, terutama bagi aktivitas litbang swasta,” ujar Berly. (Kompas.com)