Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan standar prosedur penghitungan pajak penulis buku di semua kantor wilayah pajak akan disamakan. Pemerintah memperbolehkan pengurangan norma 50 persen dari total penghasilan penulis selama setahun, sehingga diperoleh penghasilan bersih (neto) yang lebih kecil.
“Saya meminta kawan-kawan Direktorat Jenderal Pajak menyamakan kembali pemahaman tersebut, meninjau prosedur operasi standar dalam penanganan masalah seperti ini,” katanya, seperti dikutip dari Koran Tempo, Selasa, 12 September 2017.
Sri Mulyani mengatakanupaya tersebut dilakukan sebagai bagian dari reformasi perpajakan. Kementerian memperhitungkan pengurangan norma penghitungan pajak penghasilan penulis sebagai bagian dari proses pembuatan buku yang membutuhkan riset data survei serta promosi. Biaya ini dianggap mencapai 50 persen dari seluruh penghasilan penulis, baik dari royalti maupun honorarium lain.
Selanjutnya, penghasilan neto tersebut dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) setahun, sehingga diperoleh penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak itu yang akan dikenai tarif pajak atas royalti sebesar 15 persen. “Pajak penghasilan yang dipungut penerbit atas royalti dapat dijadikan sebagai kredit pajak dan bisa menjadi pengurang pajak penghasilan terutang,” ujarnya.
Polemik pajak penulis ini mencuat setelah novelis Tere Liye memutus kontrak dengan penerbit Gramedia dan Republika. Ia memprotes pengenaan pajak super-neto yang dibebankan kepada penulis, tanpa memperhitungkan biaya survei dan riset. Menurut Tere, royalti penulis seharusnya bersifat final atau tidak dikenai pajak lagi setelah dipotong penerbit secara otomatis.
Tere juga meminta pengurangan tarif pajak penghasilan penulisan agar disamakan seperti usaha mikro, kecil, dan menengah. “Saya titip pesan, kalau bisa pajak royalti sifatnya final dan angka paling besarnya lima persen. Di bawah itu lebih bagus, apalagi jika sama seperti UMKM, yakni satu persen,” ucapnya.
Penulis Dewi Lestari mengeluhkan penerimaan royalti yang tak bisa dinikmati 100 persen. “Potongan kue kami yang mungil dipotong lagi 15 persen, tak peduli kami hidup seperti burung hantu, wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365 cangkir kopi per tahun, atau apa pun,” tuturnya.
Adapun penulis novel Gadjah Mada, Langit Kresna Hariadi, mengungkapkan untuk menghadirkan buku bermutu, penulis harus melakukan serangkaian riset. “Baik penulis buku fiksi maupun non-fiksi, semua harus riset,” katanya. Kegiatan riset menghabiskan biaya yang cukup besar. “Bahkan saya pernah harus ke Singapura untuk merekonstruksi sebuah cerita.”
Pungutan pajak dikhawatirkan membuat kemampuan penulis melakukan riset lemah. “Bahkan akhirnya memilih berhenti menulis seperti Tere Liye,” ucapnya.
General Manager Penerbit Republika Syahruddin El Fikri, meminta pemerintah menghapus pajak industri perbukuan untuk menekan harga buku, sehingga tingkat literasi meningkat. Besarnya pajak dikeluhkan banyak penulis, termasuk penulis Habiburrahman El Shirazy.
Adapun sastrawan Sapardi Djoko Damono tak mempermasalahkan beban pajak penulis yang ditanggungnya. “Mengapa tidak? Memang pajak untuk siapa? Untuk kita juga. Yang saya tidak setuju bahwa pajak kemudian dikorupsi,” tuturnya. (IFR/Kompas.com)