Jakarta,— Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah (RUU Pilkada) tidak menemukan kata sepakat dalam rapat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah, Rabu (24/9/2014).
Proses pengambilan keputusan pun akan dilakukan lewat forum yang lebih besar, yakni sidang paripurna, Kamis (25/9/2014) pagi. Ada tujuh isu krusial dalam RUU inisiatif pemerintah sejak 2010 tersebut. Isu krusial ini telah melewati diskusi alot dan tetap tak mendapati titik temu.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi berharap proses pengambilan keputusan pada sidang paripurna bisa memberikan pilihan yang lebih mengerucut. “Semoga nantinya bisa hanya menyisakan (voting untuk) pilkada langsung dan tidak langsung saja,” kata dia, kemarin.
Ketua Panitia Kerja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja punya harapan serupa dengan Gamawan. Dia berkeinginan isu krusial selain mekanisme pemilihan kepala daerah bisa rampung dalam forum lobi sebelum pemungutan suara (voting) di rapat paripurna. Bila harapan ini tak terjadi, ujar dia, akan ada terlalu banyak varian pilihan dalam pemungutan suara.
Isu krusial RUU Pilkada
Persoalan krusial dalam RUU Pilkada yang tak tuntas hingga harus dibawa ke sidang paripurna tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Pilkada langsung atau melalui DPRD
Perdebatan paling panas terjadi pada isu mekanisme pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Tarik ulur dukungan semakin intensif menjelang pelaksanaan sidang paripurna. Pada draf awal, pemerintah langsung mengajukan usul perbaikan atas mekanisme pilkada langsung seperti yang diamanatkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Lantaran pilkada langsung dianggap penuh praktik politik uang hingga berujung pada banyaknya kepala daerah yang berperkara hukum, pemerintah pun mengajukan draf pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD, tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat. Sementara itu, untuk pemilihan bupati dan wali kota, pemerintah mengajukan usulan pilkada langsung tetap dipertahankan.
Seiring waktu, sejumlah fraksi di parlemen menolak wacana pilkada melalui DPRD ini. Mereka yang menentang adalah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Mereka beralasan bahwa kedaulatan rakyat tetap tak bisa dicabut hanya karena ekses negatif pelaksanaan pilkada langsung.
Di sisi lain, kubu pendukung pilkada melalui DPRD masih lebih kuat, yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Gerindra.
Adapun Partai Demokrat belakangan memilih berada di wilayah abu-abu dengan menyatakan dukungan terhadap pilkada langsung, tetapi mengajukan 10 syarat. Tak hanya Partai Demokrat, Fraksi PKS juga ternyata berpaling dari yang semula mendukung pilkada langsung, tetapi berbalik menyerukan penolakan.
2. Pemilihan paket atau tunggal
Perdebatan antarfraksi tak hanya sebatas pelaksanaan pilkada langsung atau melalui DPRD, tetapi juga soal usulan pilkada satu paket—memilih kepala daerah dan wakilnya bersamaan—atau pemilihan wakil kepala daerah melalui penunjukan.
Untuk isu ini, lebih banyak fraksi yang mendukung pilkada dilakukan tidak paket atau hanya memilih kepala daerah. Argumentasi yang digunakan kubu ini berkaca dari pelaksanaan pilkada selama ini yang ternyata banyak terjadi pecah kongsi.
Pendukung opsi pemilihan tak sepaket adalah Fraksi Partai Demoktrat, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Pemerintah juga mendukung pelaksanaan pilkada tidak satu paket.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengklaim bahwa lebih dari 60 persen pasangan kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi di tengah jalan sehingga mengganggu jalannya pemerintahan.
Karenanya, pemerintah mengajukan opsi wakil ditunjuk langsung oleh kepala daerah terpilih, dengan latar wakil itu dari pegawai negeri sipil, profesional, ataupun partai politik. Nama itu kemudian diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk disetujui.
Hanya ada dua fraksi yang tetap mendukung pilkada satu paket, yakni Fraksi PKS dan Fraksi PAN. Fraksi PKS berdalih ketidakharmonisan antara dua pimpinan daerah sudah seharusnya menjadi tugas partai politik untuk melakukan manajemen konflik. PKS menilai pecah kongsi kepala daerah dan wakilnya jangan dianggap berlebihan.
3. Pilkada serentak atau tidak
Pemerintah awalnya mengusulkan pelaksanaan pilkada dilakukan secara serentak pada 2015 dan 2018. Pada 2015, dilaksanakan pilkada serentak tahap pertama bagi seluruh gubernur, bupati, dan wali kota yang masa jabatannya berakhir pada tahun tersebut.
Pilkada serentak tahap kedua berlangsung 2018 untuk gubernur, bupati dan wali kota yang masa jabatannya berakhir tahun 2016, 2017, dan 2018. Pada 2016 dan 2017, diisi pejabat sampai dengan terpilih kepala daerah definitif pada tahun 2018. Penerapan pilkada serentak ini dinilai bisa menghemat biaya.
Dalam pandangan fraksi pada Rabu malam, hanya Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-P, PKB, dan PKS yang tegas menyatakan dukungan atas pelaksanaan pilkada serentak.
Menurut PKB, pilkada serentak menjadi jalan keluar dari keluhan kelompok penentang pilkada langsung yang dianggap berbiaya mahal, sementara Partai Hanura lebih menekankan pada perlunya pembatasan dana kampanye.
4. Politik dinasti
Pemerintah mengajukan usul agar pencalonan kepala daerah ataupun wakil kepala daerah dilakukan dengan membatasi hubungan kekeluargaan. Di dalam draf yang diajukan pemerintah, terdapat larangan agar istri atau suami, anak, hingga saudara petahana diangkat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Usulan ini mendapat persetujuan fraksi-fraksi di DPR, tetapi dengan sejumlah versi. Misalnya, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI-P, dan Fraksi Partai Hanura berpandangan pelarangan cukup sebatas hubungan suami atau istri, sementara untuk anak ataupun saudara tidak boleh dilarang maju sebagai calon kepala daerah.
Usulan pemerintah hanya mendapat dukungan penuh dari Partai Keadilan Sejahtera. Fraksi PKS mendukung pelarangan hubungan kekeluargaan secara keseluruhannya dalam pengajuan nama calon kepala daerah.
5. Pilkada satu putaran
Pemerintah juga mengajukan usulan perlunya dilakukan pilkada satu putaran. Menurut pemerintah, hal ini bertujuan menekan biaya mahal pilkada.
Pada UU yang berlaku sekarang, pilkada dilakukan dua putaran apabila suara tertinggi pasangan calon yang berlaga tak mendapatkan minimal 30 persen suara.
Pemerintah mengusulkan pemenang pilkada adalah peraih suara terbanyak, berapa pun persentasenya, dalam satu kali putaran saja.
Hanya Fraksi PKB yang mendukung penuh pelaksanaan pilkada satu putaran ini dalam pandangan mini fraksi yang dibacakan Rabu petang. Fraksi lain tak terlalu menyoroti isu ini.
6. Uji publik
Uji publik adalah hal baru dalam RUU Pilkada ini. Uji publik dilakukan untuk menyeleksi calon kepala daerah sebelum diajukan oleh partai politik.
Pemerintah berpendapat uji publik ini bukan menentukan lolos atau tidaknya seorang calon, melainkan hanya untuk memenuhi prinsip keterbukaan.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengaku khawatir apabila uji materi ini dijadikan syarat lolosnya seorang bakal calon, maka akan membuka lagi ruang politik uang dan aksi suap terhadap penguji.
Sebagian besar fraksi pun menolak uji publik dijadikan syarat lolosnya seorang bakal calon. Sebagaimana Gamawan, mereka berpendapat hal itu bisa menjadi arena baru kampanye hitam untuk menjegal calon lain. Hanya Partai Demokrat yang bersikeras agar uji publik perlu dilakukan untuk menentukan lolos tidaknya seorang bakal calon.
7. Penghapusan PPS dan PPK
Wacana ini digulirkan oleh pemerintah untuk memotong jalur birokrasi rekapitulasi suara. Pemotongan prosedur rekapitulasi suara juga dilakukan untuk memangkas ruang-ruang transaksi manipulasi hasil perhitungan suara.
Usulan yang masuk dalam draf usulan pemerintah ini juga tak terlalu disinggung oleh fraksi-fraksi. Fraksi Partai Golkar meminta agar hal-hal yang belum disepakati sebaiknya dibicarakan di forum sidang paripurna.
Sumber :www. kompas.com