Jakarta – Siapa yang meragukan kekayaan alam Indonesia? Namun ibarat dapur yang sudah lengkap sayur dan bumbunya, sang koki tak kunjung ada. Indonesia masih mengandalkan negeri-negeri tetangga dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA), terlebih di bidang energi.
Perkara serupa pun kembali muncul kala isu thorium sebagai pembangkit listrik murah mencuat pada 2015 lalu. Lagi-lagi, Indonesia dianggap tidak siap dalam menyambut potensi energi baru itu. Padahal, unsur yang tengah menjadi buruan peneliti dunia itu ditemukan juga di Bangka Belitung. Mengutip data dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), ada sekitar 121.500 ton cadangan thorium yang bisa memberikan daya 121 Gigawatt selama 1000 tahun.
Kuantitas dan kualitas
Pada 2015, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis faktor-faktor penghambat sehingga tradisi penelitian di Indonesia tampak lemah. Tentu, faktor utama yang paling berpengaruh adalah kurangnya dukungan anggaran dari pemerintah. Belanja penlitian dan pengembangan (Litbang) Nasional baru 0,09% dari produk domestik bruto (PDB).
Hal itu, cukup timpang jika mengacu dukungan pemerintah Korea Selatan terhadap peneliti setempat. Mereka menganggarkan dana penelitian dan pengembangan sebesar 3,4% dari PDB, hanya berpaut tipis dari Israel yang mengucurkan hingga 4%.
Minimnya dukungan anggaran menunjukkan lemahnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan riset dalam negeri. Di negara-negara lain, pemerintah setempat mengucurkan 70% dana penelitian dari industri. Sementara di Indonesia cuma 30% saja.
Tak kalah penting, LIPI juga menyebut minimnya jumlah personel peneliti di Indonesia. Hingga pengujung 2016, dikutip dari laman lipi.go.id, peneliti di Indonesia hanya berjumlah 9.537 orang saja. Itu pun terbagi dalam berbagai bidang dan beberapa lembaga.
Perbandingannya, menurut LIPI, jumlah itu setara dengan cuma 40 peneliti per sejuta penduduk. Kekurangannya tampak mencolok apabila melihat di Brazil ada 700 peneliti per sejuta penduduk. Apalagi Rusia, rasionya 2.000 peneliti per sejuta penduduk.
Berikutnya, minimnya jumlah instansi penelitian. Indonesia hanya memiliki 10 instansi, berbeda jauh dengan Amerika Serikat (AS) yang teridiri dari 256 lembaga.
Diaspora
Kurangnya peneliti di Indonesia bukan cuma disebabkan masih lemahnya kesadaran pendidikan tinggi di masyarakat, terlebih yang berkenan mendalami dunia penelitian. Lebih dari itu, para peneliti yang ada justru tak jarang memilih hijrah di negeri orang.
Profesi peneliti di Indonesia konon belum dihargai. Di luar negeri, peneliti bisa mendapatkan upah yang layak sesuai inovasi yang diciptakan.
Keinginan untuk menarik kembali para diaspora cerdas itu pun diungkapkan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Muhammad Nashir pertengahan 2016. Menurutnya, secara perlahan, kesejahteraan peneliti di Indonesia tengah sekuat tenaga diperjuangkan.
“Royalti peneliti ada yang dapat 3 persen dari total sales suatu produk industri. Nilainya bisa sampai Rp400 jutaan,” kata Nashir, kepada Metro TV, Oktober 2016 lalu.
Royalti yang sebelumnya masuk ke kas negara pun kini sudah diubah demi kesejahteraan peneliti. Menurut Nashir, sedang diusahakan agar bisa diterapkan 60:40. Peneliti menerima lebih besar dari pemerintah.
“Kami harap diaspora kembali ke Indonesia. Menteri Keuangan bisa mensuport, Presiden sudah mengarah dan mendukung,” kata dia. (IFR/metrotvnews.com)