News

Hasil Riset Peneliti Hanya Menumpuk di Perpustakaan

JAKARTA – Hasil riset anak bangsa belum secara optimal dimanfaatkan industri. Selama ini, hasil riset hanya berhenti sebagai referensi keilmuan dan menumpuk di perpustakaan. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, menyesalkan masih banyak hasil riset anak bangsa menumpuk di perspustakaan. Padahal, menurut Nasir, daya saing suatu bangsa dapat dicapai salah satunya dengan inovasi. “Tidak bisa inovasi tanpa riset.

Riset akan bisa lebih baik dan akan menghasilkan inovasi yang baik, tenaga kerja yang baik, harus didorong dari sumber daya manusia yang kompeten, yakni salah satunya para peneliti dan dosen,” ujar Nasir. Ia menjelaskan riset yang dikembangkan selama ini dikelompokkan ke dalam tujuh bidang fokus, yakni bidang teknologi pangan dan pertanian, bidang kesehatan dan obat-obatan, bidang teknologi informasi, teknologi transportasi, material maju, pertahanan, dan energi.

Ia menegaskan berbagai inovasi yang telah dihasilkan tidak akan sampai kepada pengguna apabila tidak ada investor. “Oleh karena itu, dibuat forum Inovator-Investor seperti ini yang akan menjadi tempat kolaborasi keduanya sehingga keduanya tidak berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada nilai tambah yang bisa dimanfaatkan. Indonesia akan bisa berdaya saing dengan baik,” katanya.

Benahi Komunikasi

Dijumpai terpisah, Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Jumain Appe, mengatakan hanya 3 persen riset dan inovasi peneliti dalam negeri yang diserap industri nasional. “Hal tersebut membuat daya saing hasil industri dalam negeri terus tertinggal dari beberapa negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam,” katanya. Rendahnya daya serap industri terhadap hasil riset inovasi dalam negeri terjadi karena pengusaha dan peneliti belum bersinergi. Hasil riset peneliti dalam negeri dan industri masih berjalan sendiri-sendiri.

Untuk itulah, kata Jumain, alur komunikasi antara dunia riset perguruan tinggi dan industri harus dibenahi. “Jika tidak dibenahi, industri dalam negeri akan sulit bersaing terutama dalam sektor pangan,” jelas dia. Ia mencontohkan negara sekelas Singapura yang tidak memiliki sumber daya alam, namun dapat maju. Begitu juga dengan Korea Selatan yang dapat secara optimal memanfaatkan teknologi yang diciptakan para penelitinya.

Sementara Indonesia sudah memiliki keduanya, yakni sumber daya alam melimpah dan sumber daya manusiannya juga memiliki kemampuan berinovasi, namun industrinya belum dapat menyaingi kedua negara tersebur. Padahal, kata dia, ada 4.000 lebih perguruan tinggi yang fokus di bidang pangan sudah melahirkan banyak inovasi. Ia menegaskan, pemerintah terus mencoba untuk menyelesaikan masalah jalinan komunikasi tersebut, di antaranya dengan membawa produk inovasi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) kepada para pengusaha.

Pemerintah juga menjalin kesepakatan kerja sama dengan beberapa perusahaan swasta nasional dan internasional. Menurut Jumain, Indonesia telah banyak mengembangkan teknologi, namun sebagian besar hasilnya hanya berhenti sampai di laboratorium. “Hanya untuk kepentingan keilmuan,” tegasnya. Secara umum, manfaatnya belum menyentuh langsung masyarakat. “Tahun ini ada 400 inovasi yang dicanangkan bisa diserap industri.

Jika 20 persennya saja terealisasi, perekonomian nasional akan ikut terdongkrak,” sebut Jumain. Rektor IPB, Herry Suhardiyanto, menambahkan, selama peneliti dan pengusaha berjalan sendiri-sendiri, petani akan selalu dalam keadaan terdesak sehingga tidak mampu bersaing secara global. Kondisi petani akan semakin lemah karena tidak terkonsolidasi. “Indonesia pernah swasembada pangan, itu bukti kita memiliki kemampuan,” tutup Herry. (IFR/Koran Jakarta)