News

Hasil Riset Pemuda Muhammadiyah soal Jual Beli Jabatan

JAKARTA- Pemuda Muhammadiyah melakukan riset di 10 daerah soal modus jual beli jabatan. Riset ini dilakukan pada 2-16 Januari 2017 di Aceh, Sumatera Utara, Banten, Babel, Papua Barat, Deli Serdang, Klaten, Binjai, Tangsel, dan Pariaman.

Dari riset yang dilakukan dengan metodologi wawancara mendalam, focus group discussion (FGD), dan studi literasi itu, diketahui, praktik  jual beli jabatan seringkali terjadi sebelum dan sesudah pelaksanaan Pilkada.

“Modus jual beli jabatan dilakukan sebelum dan setelah Pilkada. Modusnya politisasi ASN, bandit anggaran, keuntungan dengan jual beli jabatan,” kata Wakil Direktur Madrasah Antikorupsi Virgo Sulianto, di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (23/1/2017).

Virgo menyebutkan, ada balas budi dan balas dendam terhadap ASN yang mendukung petahana setelah penyelenggaraan Pilkada. Jika ASN menolak untuk terlibat, akan dilakukan mutasi jabatan sebagai balas dendam dari pejabat petahana. Menurut Virgo, jual beli jabatan lebih banyak terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah baru.

Reformasi birokrasi menjadi alasan untuk melakukan perombakan ASN. “Lebih banyak kepala daerah baru, yang bukan petahana, jual beli jabatan. Alasan reformasi birokrasi, perbaikan tata kelola, tapi sistem merit tidak bekerja,” ujar Virgo.

Peluang jual beli jabatan dapat terjadi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Dalam PP 18/2016, jumlah Susunan Organisasi Tata Kerja (SOTK) dibuat dengan Peraturan Daerah yang ditentukan oleh Pemda dan DPRD.

“Berimplikasi pada jual beli jabatan dan pengangkatan ASN. Kewenangan mutasi dan jabatan juga diberikan kepada Plt (pelaksana tugas). Plt punya potensi jual jabatan,” ujar Virgo.

Ia menyebutkan, berdasarkan sampel 10 daerah, harga jual beli jabatan berkisar antara Rp 100 juta hingga Rp 400 juta. Umumnya, pembayaran pembelian jabatan dilakukan dengan uang muka sekitar 20-30 persen.

“Dengan uang muka 20 sampai 30 persen, dia akan angsur. Yaitu melalui potongan proyek, biaya harian, perjalanan dinas. Apalagi kalau SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) basah. Korupsi terus bergulir,” papar Virgo.(Kompas.com)/msr

Join The Discussion