PERATURAN Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristek Dikti) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor layak diapresiasi secara positif.
Berdasarkan peraturan itu, khususnya pasal 4, disebutkan syarat untuk memperoleh tunjangan profesi bagi lektor kepala harus menghasilkan: (a) paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun; atau (b) paling sedikit 1 (satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional, paten, atau karya seni monumental/desain monumental dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun.
Selanjutnya dalam pasan tersebut disebutkan bahwa syarat memperoleh tunjangan kehormatan bagi dosen dengan jabatan akademik profesor (guru besar) harus menghasilkan: (a) paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun; atau (b) paling sedikit 1 (satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi, paten, atau karya seni monumental/desain monumental dalam waktu 3 (tiga) tahun.
Melalui Permenristek Dikti Nomor 20 Tahun 2017 tersebut, kuantitas dan kualitas publikasi ilmiah akademisi kita diharapkan meningkat.
Kebijakan Kemristek Dikti ini tentu bukan tanpa sebab.
Itu disebabkan sampai saat ini kuantitas publikasi ilmiah akademisi Indonesia masih minim sekali.
Berdasarkan data Kemristek Dikti (2017), jumlah publikasi akademisi kita dari berbagai jenjang jabatan fungsional dan jenjang peneliti masih sekitar 10.484 dokumen di 2016.
Pada 2019, potensi publikasi ilmiah diharapkan bisa mencapai 25.251 dokumen.
Harus diakui, produktivitas publikasi pada jurnal ilmiah para akademisi dan ilmuwan kita masih sangat rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga.
Berdasarkan data yang dirilis Scimagojr.com, dari 1996-2015 untuk kawasan Asia posisi Indonesia di ke-11 dengan jumlah publikasi ilmiah 39.719 dokumen.
Bandingkan dengan Singapura (7 dengan 215.553 dokumen), Malaysia (8 dengan 181.251 dokumen).
Indonesia setingkat di atas Filipina (20.326 dokumen).
Bukan ancaman
Hasil temuan Dedi Purwana (2017) menunjukkan keengganan meneliti dan menulis menjadi biang penyebab sedikitnya publikasi akademisi dan peneliti kita.
Keengganan itu mengakibatkan hasil-hasil penelitian hanya teronggok di gudang.
Fungsi diseminasi hasil penelitian tidak berjalan, toh pertanggungjawaban keuangan sudah dilakukan dalam wujud laporan hasil penelitian.
Ingatlah bahwa peneliti atau ilmuwan memiliki kewajiban moral untuk mengumumkan hasil, temuan, simpulan, serta implikasi dari hasil penelitian atau telaah pada publik.
Bukan sekadar penghuni rak-rak perpustakaan tanpa dibaca luas oleh publik.
Sejatinya, Permenristek Dikti Nomor 20 Tahun 2017 bukan momok jika disikapi dengan bijak.
Artinya, kewajiban publikasi ilmiah dalam jurnal nasional terakreditasi minimal 3 (tiga) buah dalam kurun waktu tiga tahun itu tidak memberatkan.
Strateginya, selain penelitian mandiri, kita bisa membimbing skripsi/tesis/disertasi mahasiswa yang berkualitas sehingga layak dipublikasikan.
Strategi yang sama juga bisa dilakukan para dosen dengan jabatan guru besar. Pertanyaannya, mampukah para lektor kepala dan profesor membimbing skripsi mahasiswanya berkualitas sehingga layak dipublikasikan dalam jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional?
Kebijakan dengan tujuan mendongkrak kuantitas publikasi ilmiah sebenarnya sudah dimulai Ditjen Dikti pada 2012 melalui surat edaran bernomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012.
Surat yang ditujukan kepada rektor/ketua/direktur PTN dan PTS seluruh Indonesia itu memuat tiga poin yang menjadi syarat lulus bagi mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasikan karya ilmiahnya.
Syarat itu: 1) untuk lulus program sarjana (S-1) harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah; 2) untuk lulus program magister (S-2) harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti, dan 3) untuk lulus program doktor (S-3) harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.
Menurut Djoko Santoso (2012), ada tiga alasan mengapa kebijakan itu dipandang perlu: 1) diharapkan para sarjana kita memiliki kemampuan menulis secara ilmiah, termasuk menguasai tata cara penulisan ilmiah yang baik.
Entah dari rangkuman tugas, penelitian kecil, maupun ringkasan dari skripsi yang dibuatnya, 2) ketika seorang sarjana telah mahir menulis ilmiah, ke depannya diharapkan tidak akan kesulitan ketika membuat karya ilmiah di jenjang selanjutnya.
Dengan adanya aturan itu, karya ilmiah yang dihasilkan sivitas akademika di Indonesia diharapkan bisa meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas, dan 3) aturan itu sengaja dibuat untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia dalam hal membuat karya ilmiah.
Komitmen pemerintah
Belajar dari fenomena sebelumnya, Dikti bisa dibilang setengah hati dalam mengawal kebijakan.
Artinya, regulasi tidak dibarengi dengan pengawasan dan insentif yang memadai bagi peneliti.
Bahkan, terkait dengan akuntabilitas jurnal ilmiah terkesan ‘asal jalan’.
Ketika surat edaran bernomor 152/E/T/2012 diterbitkan, bermunculan jurnal ilmiah.
Ada pendapat yang berkembang saat itu jurnal ilmiah yang tidak ilmiah juga menjamur lantaran kebutuhan mendesak.
Keterbatasan jurnal ilmiah saat itu tidak sebanding dengan tuntutan ribuan mahasiswa yang sudah akan selesai masa studinya.
Demi kelulusan, jurnal ilmiah ‘abal-abalan’ muncul dari praktik perselingkuhan lembaga akreditasi dengan universitas atau perguruan tinggi yang membutuhkan publikasi karya ilmiah mahasiswa-mahasiswanya. Pada kondisi demikian, yang terjadi bukan budaya efektif membangun iklim keilmuan, melainkan budaya uang dan perselingkuhan yang picik plus kerdil.
Mestinya, upaya sistematis mengenai aturan proses penerbitan jurnal ilmiah menjadi penting agar tidak menjamur jurnal abal-abal itu. Salah satu contohnya ialah proses review jurnal.
turan penerbitan jurnal kelas internasional biasanya mengharuskan proses peer review atau review oleh beberapa ahli.
Proses itu untuk menjaga kualitas dan kredibilitas sebuah jurnal ilmiah. Biasanya proses itu dilakukan secara tertutup (blind review, artinya penerbit menyembunyikan identitas penulis karya ilmiah dalam prosesnya untuk mengedepankan aspek netralitas di kalangan editor.
Akhirnya, demi menggiatkan lagi budaya publikasi ilmiah, Permenristek Dikti Nomor 20 Tahun 2017 perlu didukung seluruh akademisi dan peneliti kita.
Sudah saatnya peneliti dan ilmuwan sejati mau berbagi pengetahuan kepada masyarakat luas.
Ini merupakan bagian tanggung jawab moral peneliti dan ilmuwan.
Pemerintah melalui Kemenristek Dikti pun harus menyediakan insentif menarik bagi para peneliti dan ilmuwan yang berhasil memublikasikan artikel mereka pada jurnal internasional bereputasi.
Pemberian insentif bagi peneliti yang artikelnya terbit di jurnal internasional terindeks scopus memang sudah dimulai Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Sayangnya, insentif dari LPDP masih sukar diraih lantaran persyaratan yang diajukan impact factor (IF) jurnal minimal 0,1-5 dengan jumlah sitasi 1-3 untuk Rp50 juta dan Rp100 juta untuk IF lebih dari 5 dan jumlah sitasi lebih dari 3.
Mestinya, demi mengatasi ketertinggalan produktivitas publikasi ilmiah, insentif ditingkatkan serta dengan persyaratan yang dipermudah. Semoga. (IFR)
Dikutip dari: Opini Agus Wibowo/Direktur Pendidikan SEEB Institute, Dosen FE UNJ/Media Indonesia)