Dikutip dari republika.co.id, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko mengatakan apabila pemerintah ingin memiliki perguruan tinggi kelas dunia atau world class university (WCU), maka harus lebih fokus terhadap riset. Selama ini, ia menilai perguruan tinggi disibukkan beban jumlah mahasiswa S1 yang sangat banyak.
“Mestinya PTN berorientasi semua pada riset karena pemerintah telah membiayai, maka harusnya PTN memperbesar mahasiswa pascasarjana S2 dan S3 sehingga diaharapkan melahirkan riset berkualitas,” kata Budi pada wartawan, Rabu (22/1).
Ia mengatakan, WCU mensyaratkan fakultas dan program studi yang membuka kelas internasional serta memiliki mahasiswa internasional. Hal ini yang sangat memungkinkan hanya PTN dan sebagian kecil PTS.
“Ini pun mestinya PTN bisa memainkannya karena mereka mendapatkan bahan baku calon mahasiswa yang luar biasa bagus, serta memiliki dosen-dosen yang mampu disekolahkan negara ke berbagai negara maju,” kata dia.
Budi berpendapat, syarat menjadi WCU hanya PTN yang paling mampu dan bisa menjawab tantangannya. Hanya sebagian kecil PTS yang menuju ke sana. Ia berharap setidaknya tiga hingga lima tahun ke depan PTS bisa masuk ke 1.000 besar WCU.
Terkait dengan permasalahan PTS, ia mengatakan yakni terkait dengan akreditasi perguruan tinggi dan prodi. Menurutnya, hal ini menjadi batu sandungan untuk pendidikan tinggi di Indonesua.
Ia menjelaskan, perguruan tinggi setiap harinya hanya berkutat dengan borang. APTISI pun mengusulkan agar ke depan akreditasi cukup dengan akreditasi insitiusi, sementara akreditasi program studi menjadi tidak wajib.
“Sehingga perguruan tinggi bisa kreatif dan ada waktu untuk menghasilkan inovasi yang unggul,” kata Budi.
Budi menjelaskan, sekarang terjadi masalah berat juga terkait dengan akreditasi institusi, yakni hampir 2.000 lebih perguruan tinggi belum terakreditasi. Menurutnya, ini menjadi tugas berat Kemendikbud untuk menanganinya.
Maka, usulan ke depan akreditasi daring tanpa harus datang ke kampus. “Atau perpanjangan waktu akreditasi bisa 20-25 tahun, kecuali yang akan mengajukan kenaikan pringkat, karena kenyataannya pemerintah tidak ada dana untuk visitasi ke semua perguruan tinggi,” kata Budi.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema menyebut masalah pendidikan tinggi saat ini yakni terkait dengan kualifikasi dosen yang harus linear. Menurutnya, hal tersebut harus diklarifikasi sehingga dosen bisa menjadi pengajar tetap di suatu universitas.
Mestinya, ia berpendapat, yang dinilai dari seorang dosen adalah mampu tidaknya ia memberikan ilmu kepada mahasiswanya. Seorang dosen harus mampu menghasilkan keluaran mahasiswa yang sesuai dengan standar.
“Itu yang harus dipertimbangkan, linear tapi kalau tidak bisa ngajar ya sama saja,” kata Doni.
Ia juga berpendapat, perguruan tinggi saat ini masih terlalu parsial. Padahal, ketika bekerja di lapangan nanti yang dibutuhkan adalah multidisiplin sehingga bisa menghasilkan sumber daya manusia yang memang berkualitas.
Doni mencontohkan, di Indonesia sedikit arkeolog yang handal. Hal ini, menurutnya disebabkan karena di dalam pendidikannya, arkeologi tidak diajarkan ilmu kimia. “Padahal menghitung karbon dan lain-lain itu penting tapi tidak diajarkan,” kata dia.
Ilmu sosial dan sains sekarang harus menjadi satu kesatuan dan saling memperkaya. Namun, ia pun memahami kenapa Indonesia sulit memadukan kedua ilmu tersebut. Pendidikan Indonesia sudah cukup lama memisahkan ilmu IPA dan IPS sejak SMA.